Kamis, 19 November 2015

Aktivis

Sebuah nama yang seringkali jadi pertanyaan bagi masyarakat awam, “siapa mereka?, dan apa yang mereka lakukan?. Ketika berkumpul dan bergerak melakukan demonstrasi, tak jarang orang-orang akan menganggap mereka sekumpulan orang-orang pengganggu lalu lintas, pembuat kerusuhan, keributan, dan peperangan. Bersuara lantang layaknya jagoan yang tak takut mati. “Pasti mereka orang-orang bayaran yang ditunggangi satu atau beberapa kepentingan politik”. Begitu mereka dinilai sebelah mata oleh beberapa kalangan masyakat. Aktivis, sejatinya mereka yang anti kemapanan, tak harus lusuh penampilannya. Tetap berfikir kritis meski dalam kondisi krisis. Bergerak dan bersuara membawa nama organisasi untuk mengkritik sistem birokrasi, demi perbaikan regulasi, dan meluruskan jalannya roda kepemimpinan negeri. Turun ke jalan adalah salah satu cara yang ditunjukkan jika kebijakan dan perlakuan pemerintah dinilai tak berpihak pada masyarakat. Teror kematian terkadang jadi mimpi buruk bagi sebagian dari mereka. Suara lantangnya akan selalu ditakuti para penjahat dan mafia hukum yang tak pernah jera. Mereka yang bersama-sama berjuang untuk sesama, walau gerakan mereka ada pada bidang yang berbeda. Idealisme yang mereka tanamkan semata-mata karena pergerakan dan organisasi yang mereka geluti. Ada mereka yang fokus dalam penyelamatan lingkungan, hutan, laut, agraria, dan sungai. Dan beberapa bidang lain seperti perburuhan, korupsi, penegakan HAM, perlindungan anak dan perempuan, perlindungan satwa dan tumbuhan dilindungi, pemantau sistem birokrasi, dan beberapa pergerakan lain yang dibentuk oleh mahasiswa atau kalangan masyarakat lainnya. Aktivis pada masa orde baru, memang jelas berbeda dengan mereka aktivis masa kini. Mereka yang saat itu relakan diri hidup atau mati demi sebuah sistem pemerintahan baru yang namanya “Demokrasi”. Bagi mereka saat itu pemimpin negeri seperti raja yang pantang dikritisi. Mereka tertindas dalam ketidakberdayaan. Dipaksa diam oleh keserakahan pemimpin negeri yang seolah menyamar menjadi penjajah baru bumi pertiwi. Tapi perihnya berdiam diri seperti bertahan dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi mereka. “Daripada diam dibungkam tapi hati merintih, maka lebih baik Lawan”, begitu kira-kira sang puitis demokratis Wiji Tukul bersyair dalam semua puisinya. Mengingat Wiji maka kita harus mengingat sebuah pergerakan waktu itu yang namanya “Pergerakan Rakyat Demokratik (PRD)”. Semua orang seperti tergerak raganya untuk bertindak, bersuara dan menyatakan “kami lelah untuk diam”. Seluruh masyarakat negeri yang kemudian menyatakan diri untuk menjadi bagian dari pergerakan beramai-ramai bersuara dan meminta pemimpin negeri saat itu untuk turun dari kepeminpinannya. Hingga mereka semua yang berpartisipasi untuk “Demokrasi” ada yang mati dan hilang seperti ditelan bumi, tak ada kabar atau beritanya, begitu juga dengan Wiji. Sudah sepantasnya masyarakat kini berterimakasih pada mereka “Pejuang Demokrasi”, menjadikan mereka pelajaran yang pantas untuk dikisahkan bagi anak-anak dan remaja masa kini. Karena Demokrasi adalah “Kebebasan”. Kebebasan bertindak dan berpendapat, tapi TIDAK MENGHILANGKAN KEBEBASAN ORANG DAN MAKHLUK YANG LAIN. Lalu saat mereka yang hilang dan mati demi demokrasi coba diperjuang untuk dihargai dengan cara mencari semua pelaku dan mengupayakan negara untuk bertindak mengadili, masih saja kepecundangan hukum di negeri ini tak mampu bertindak adil. Para aktivis kembali beraksi menuntut pemerintah bertindak tegas untuk para pembantaian mahasiswa dan masyarakat serta hilang dan matinya beberapa aktivis saat itu. Tapi sang penjahat tak berhenti sampai disitu, dia kembali membunuh aktifis besar pejuang Hak Asasi Manusia. Munir. Sepertinya kehebatan dan kekuatan Munir kala itu membuat gentar para penjahat. Hingga harus menghilangkan nyawa Munir didalam pesawat dalam perjalanannya ke negeri kincir angin Belanda, untuk melanjutkan pendidikan. Demi mengenangnya (Munir Said Thalib) para aktivis menjadikan 7 September sebagai “Hari Pejuang HAM” di Indonesia, dimana pada tanggal 7 September 2004 dia meninggal dunia. Maka tahulah kita, mereka bukan pemberontak yang ciptakan huru hara, mereka demokratis yang coba luruskan pedang sang dewi keadilan agar tetap tegak keatas. Aktivis kini, mereka memang tak lagi bergerak untuk ubah orde baru menjadi demokrasi, tapi negeri ini masih muda menjadi negara demokrasi. Maka pergerakan yang dilakukan untuk tetap ingatkan pemerintah dan penegak hukum agar dewasakan demokrasi. Sebab masih tak bisa dipungkuri beberapa dari pemimpin birokrasi dan aparat negeri ini masih melakukan cara-cara seperti pada masa orde baru untuk wujudkan nafsu serakahnya dan menindas masyarakat kecil, hingga berusaha lenyapkan aktivis yang coba buat pergerakan. Dalam besarnya cita-cita semua para aktivis untuk pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta pemerintahan yang adil dan bermartabat maka sebagian dari mereka yang mendapat kepercayaan dan berkeyakinan besar untuk bergabung dalam pemerintahan baik di Eksekutif, Legislatif, dan/atau Yudikatif akan tinggalkan dunia aktivisnya yang biasanya berkumpul dan berteriak lantang tuntut keadilan menjadi orang-orang berbatik bagus atau berkemeja dan berjas rapi duduk di singgasananya kemudian berkata “Semua itu tidak mudah”.

0 komentar:

Posting Komentar