Selasa, 21 November 2017

Cerpen: Ciuman Pertama

Setelah masuk dan mengucap salam, Bobby langsung melempar tubuhnya--jatuh ke atas salah satu sofa di ruang tamu. Ia tidak lelah, tapi wajahnya nampak kusut. Lebih kusut dari pakaian yang belum sempat digilas panas setrika.

"Bukannya ganti baju, malah tiduran!" Ibunya tiba-tiba datang menghampiri. "Kusut, dong, itu seragamnya. Kan besok masih dipakai lagi. Ganti dulu, sana."

"Iya, ma. Bentar."

Bobby menutup wajahnya dengan sebelah lengannya. Seperti enggan dilihat dan melihat ibunya

Nggak biasanya ini anak begini, batin ibunya.

Ketika sang ibu hendak meninggalkan ruangan itu, ponsel Bobby tiba-tiba berdering. Langkah ibunya jadi tertahan sekejap. Menatap Bobby yang langsung menarik ponsel dari saku celana. Bobby melihat sekejap nama penelepon yang muncul di layar. Bukannya diangkat, Bobby malah mengabaikannya. Ponsel itu ia lempar pelan ke atas meja yang ada di sebelahnya, di depan sofa yang sedang ia tiduri.

"Kok nggak diangkat?" Tanya ibunya yang masih memperhatikan.

"Nggak apa-apa, ma. Males."

"Males?"

Jawaban itu membuat ibunya jadi penasaran. Dengan cepat ibunya kemudian melangkah mendekati meja. Melihat ke ponselnya. Menyelidik, siapa gerangan yang menelepon?

Cindy

"Kamu lagi berantem ya sama Cindy?" Tanya ibunya lagi. Semakin penasaran. Dan mulai menebak-nebak dalam hati.

Namun sayang, bukannya memberi jawaban, Bobby malah diam seribu bahasa. Lalu, dengan wajahnya yang terlihat kesal, ia langsung mengangkat tubuhnya beranjak dari sofa. Mengambil tas sekolahnya dan ponselnya, lalu pergi meninggalkan ibunya yang menatapnya heran. Masuk ke kamar.

Dasar remaja, ucap ibunya kemudian dalam hati, sambil menghela napas dan bergeleng kecil.

Di kamar, Bobby hanya melepas kemeja seragamnya, lalu rebahan lagi di atas kasur. Ia terpaku menatap langit-langit kamar. Namun tatapan itu kosong. Ia memikirkan lagi, sesuatu yang telah membuat mukanya jadi kusut dan terlihat agak kesal.

Kemarin, seperti biasa, ia mengantar Cindy (teman sekelas sekaligus kekasih hatinya) pulang terlebih dulu naik sepeda motornya, setelah itu barulah ia pulang ke rumahnya. Tapi, kemarin itu, ketika baru sampai di depan pagar rumah Cindy, ia tiba-tiba kebelet ingin buang air kecil. Ia meminta ijin pada Cindy agar diperbolehkan memakai WC sebentar. Cindy dengan senang hati mengantarnya.

Setelah menunjukkan letak WC di dalam rumahnya, Cindy bergegas mengganti pakaian ke kamar. Selagi Bobby di WC, pikirnya.

Namun ternyata Bobby selesai lebih dulu. Keluar dari WC ia langsung memanggil Cindy beberapa kali. Sambil melirik ke beberapa ruangan tak berpintu di dalam rumah itu. Mungkin setelah lima atau enam kali memanggil, barulah Cindy menyaut. Berteriak dari dalam kamarnya. Meminta Bobby menunggu dulu di ruang tamu.

Baru beberapa detik menunggu di ruang tamu, Bobby sontak terperanga melihat Cindy keluar dari balik tembok ruangan sebelah, sudah mengenakan pakaian yang tak pernah dilihatnya selama dua tahun mereka berteman di SMA dan delapan bulan berpacaran. Luarbiasa, pikirnya. Dada serasa mau meledak. Ia deg-degan dan agak panik.

"Ayang kok liatnya gitu sih?!" Tanya Cindy setelah duduk di sebelah Bobby.

Bobby tersenyum kaku. Menelan liur, dan bertingkah kebingungan. Ia mencoba memulihkan kesadarannya yang kacau dibikin penampilan kekasihnya itu.

"Nggak, nggak apa-apa, kok. Aku pangling."

"Pangling?"

"Iya. Ayang cantik banget."

Meski sama-sama tahu, Cindy tidak sedang dalam riasan makeup. Kata "cantik" jelas bukan kata yang tepat untuk memuji penampilannya. Karena yang sedang menjadi pusat perhatian Bobby bukanlah wajahnya. Melainkan kulit putih dan mulus yang terpampang di leher, dada, lengan, paha, dan betisnya. Harusnya kata yang lebih tepat adalah, seksi atau menggoda. Tapi karena pertanyaan Cindy membutuhkan jawaban, mungkin spontanitas pikiran Bobby menganggap dua kata itu terlalu frontal jika diucapkan pada kekasihnya itu. Ia akan dianggap buruk. Maka kata "cantik", agaknya lebih tepat, pikirnya.

"Gomballll..."

Cindy mendorong sebelah bahu Bobby dengan sebelah sikunya. Bobby hampir tumbang. Benar-benar tak kuat menahan dorongan itu dan godaan penampilan Cindy yang hanya memakai celana jeans ketat dan pendek. Yang pendeknya hampir mendekati selangkangan. Dan baju kaos ketat yang lengannya hampir tak ada dan kerahnya yang lebar memampangkan dada. Yang panjangnya membuat kulit putih perut Cindy agak terlihat.

Benar-benar petaka yang nikmat, pikir Bobby tak henti-henti.

"Ya udah, Ayang mau langsung balik, kan?" Tanya Cindy.

"Mmm..." Bobby melihat jam tangannya. "Entar dulu deh."

"Bagus deh kalo gitu. Aku jadi ada temennya." Cindy bertingkah manja. Dan senyum kegirangan.

"Emang, adik Ayang ke mana?" Tanya Bobby.

"Sepulang sekolah biasanya dia ke rumah tanteku dulu, di dekat sekolahannya. Jam setengah tiga atau jam tiga baru dia pulang ke rumah."

"Mmm." Bobby mengangguk. "Terus, papa sama mama?"

"Kalo mama biasanya sore udah pulang. Tapi kalau papa seringnya agak maleman."

Untuk sekejap, aman, pikir Bobby kemudian. Tanpa diundang sebuah keinginan yang tak pernah ia inginkan sebelumnya tiba-tiba datang. Memberontak di dalam kepalanya. Ayo cepat, langsung saja, sikat boss... begitu kata keinginan itu kira-kira.

Hubungan mereka yang biasanya tak jauh-jauh dari jalan ke kafe dan bioskop, cokelat dan es krim, seketika melangkah terlalu jauh.

Sejurus--dua jurus gombalan yang terkesan memaksa, kemudian dilontarkan Bobby untuk Cindy. Meski berkali-kali Cindy merasa agak mual mendengarnya, Bobby tetap tak patah arang. Tak peduli. Terus saja mengatakannya.

Setelah menggeser tubuhnya mendekati Cindy, Bobby akhirnya mendaratkan bibirnya tepat di tempat yang sudah ia incar-incar: bibir tipis dan merah muda kekasihnya yang cantik itu.

Dalam gebuan nafsu sang kekasih, Cindy nampak seperti benar-benar menikmati. Ia larut dan hanyut. Tapi kadang, ia terlihat agak pasrah. Matanya enggan terbuka.

Setelah beberapa menit berlangsung, ciuman itu akhirnya terhenti. Cindy merasakan ada sesuatu yang mendorong dari dalam dirinya. Ia tiba-tiba jadi takut. Dengan sangat tergesa-gesa ia kemudian meminta Bobby segera pulang.

Keesokanharinya, ketika mengantar Cindy pulang tadi tepatnya, setelah Cindy turun dari sepeda motor lalu berdiri di sebelah Bobby yang tetap duduk di atas sepeda motor, entah kenapa Bobby tiba-tiba membuka pembicaraan tentang ciuman yang mereka lakukan kemarin itu.

"Ciuman kemarin asik, ya?!" Ucap Bobby sambil cengar-cengir.

"Apaan sih, Yang?!" Cindy cemberut manja. Menggemaskan. "Nggak lagi-lagi pokoknya."

"Yah, kok gitu?"

"Iya, nanti Ayang jadi nakal."

Bobby tersenyum. Ia tidak merasa cemas dengan jawaban itu. Ia yakin Cindy tidak serius dengan perkataannya. Dan sangat yakin, Cindy pasti masih akan memberikan ciumannya lagi. Suatu saat nanti. Di kesempatan yang lain.

"Tapi jujur, itu bener-bener ciuman pertamaku lho, Yang." Kata Bobby dengan wajah serius.

"Iya, iya, kamu udah bilang semalem di telepon."

Bobby menyeringai lagi. "Kalo ayang? Itu ciuman pertama juga, kan?"

"Mmm... ketiga."

Badan Bobby lunglai mendengarnya. "Ah, ayang... serius, dong."

"Iya, beneran, ketiga." Wajah Cindy berubah serius.

"Kamu bercanda, deh!"

"Loh, gimana sih?! Dibilang beneran, ketiga."

Mereka tiba-tiba jadi terdiam. Beberapa detik hanya saling tatap. Raut wajah keduanya pun nampak sama seriusnya. Tapi Bobby tetap masih kurang yakin dengan jawaban gadis itu. Ia menunggu jawaban yang sebenarnya. Tapi kemudian, ia malah kesal karena Cindy terlihat seperti mempermainkannya. Tetap diam, tak mau menjawab jujur. Ia lalu melepaskan tatapannya dari wajah Cindy dan menyalakan kembali mesin sepeda motornya.

"Loh, loh, Yang, kok pergi? Tunggu dulu, aku bercanda. Ayang salah paham, biar kujelasin lagi." Cindy menarik sebelah tangan Bobby. Berusaha menahannya agar tidak pergi.

"Awas!!" Terlambat. Bobby benar-benar kesal. Ia melepaskan paksa tangan Cindy, dengan kasar.

Cindy terpaksa membiarkan Bobby pergi dengan marahnya yang ia pikir cukup beralasan. Ia lalu berjalan masuk ke rumah sambil menatap ponselnya yang cepat-cepat ia tarik dari dalam tasnya. Ia menghubungi nomor telepon Bobby. Tapi sia-sia saja. Jelas tidak akan diangkat. Sebab Bobby baru saja pergi, dan sudah pasti masih di jalan. Ia pun jadi takut.

Di kamar, Bobby masih asyik merenung. Memikirkan lagi semua itu. Terkadang ia merasa agak bersalah. Namun terkadang lagi, ia merasa benar. Bimbang. Ia kemudian meraih ponselnya yang ia taruh tak jauh di sebelah tubuhnya. Ditatapnya ponsel itu. Pemberitahuan di layar langsung membuatnya agak terkejut. 15 panggilan tak terjawab, dan 7 pesan WhatsApp dari Cindy, belum terbaca. Ponsel itu tak terdengar berdering karena ia telah mengubah silent mode sebelum masuk ke kamar, tadi.

Plis, angkat telponku.
Ayang, angkat, dong.
Aku bakal jelasin kalau ayang angkat telponku.
Ayang salah paham tauuu..
Plis angkat, dong.
Ayaaaaanggg.... angkaaaattt.
Ya sudah, terserah, deh..

Pesan WhatApp Cindy yang terakhir langsung membuat rasa bersalahnya jadi lebih besar. Kata "terserah" terasa seperti petaka paling buruk baginya. Ia langsung membalas pesan kekasihnya itu.

Kamu bohongi aku. Ngomongnya baru pacaran sama aku, tapi kok ciuman udah tiga kali? Kamu ciuman sama siapa sebelumnya?

Pertanyaan Bobby hanya dibaca oleh Cindy. Tapi, setelah itu layar ponsel Bobby tiba-tiba jadi redup-terang. Cindy memanggil.

"Ayang tu kebiasaan, deh. Main marah-marah aja. Main ngambek-ngambek aja. Harusnya dengerin dulu." Cindy langsung mencerocos setelah teleponnya diangkat.

"Ya udah, buruan, jelasin." Kata Bobby ketus.

"Ciuman pertama, sama laki-laki berkumis kesayangan aku."

"Nah, kan, malah becanda."

"iihhh.. apaan sih, siapa yang becanda? "

"Kamu kencan sama Om-Om?"

"Enak aja! Laki-laki itu papaku, tau..."

"Papa kamu?"

"Iya. Dulu, waktu aku kecil sampe SD kelas 5, aku sering cium bibir sama papaku. Biasanya kalo pas diantar ke sekolah, ciuman dulu. Tapi setelah aku kelas 6 aku nggak mau lagi. Soalnya papaku kumisnya tambah tebal. Aku gelik."

"Hahaha..." Bobby tertawa terpingkal-pingkal. "Terus yang kedua pasti mama kamu?"

"Haha, iya. Mamaku yang kedua. Tapi aku nggak tau juga, sih. Mungkin mamaku yang pertama. Nyiumnya pas aku bayi. Papaku yang kedua. Soalnya, seingatku dulu mamaku memang nggak mau cium bibirku. Aku yang suka maksain dia buat ciuman sama aku. Katanya, napasku bau."

"Hahaha.." Bobby kembali terbahak-bahak. "Iya, Yang. Napas kamu emang bau. Kemarin juga bau. Tapi nggak apa-apa, enak kok."

"Oh, gitu. Oke fine. Awas ya kalo nyium-nyium lagi."

"Eh, nggak, Yang. Nggak. Becanda." 

0 komentar:

Posting Komentar