Rabu, 09 Januari 2019

Cerpen: Tempatku Bukan Di Sini

Sepertinya, aku mengidap penyakit serius. Mungkin juga berbahaya. Usai diperiksa dokter beberapa menit lalu, raut muka manusia-manusia itu—termasuk manusia yang biasa memberi aku dan dua saudaraku makanan—nampak tak menyenangkan. Aku langsung mereka pindahkan ke dalam kandang jeruji besi berukuran kecil dan sempit ini.

Jika benar begitu, mungkin lebih baik penyakit ini segera saja merenggut nyawaku. Aku sudah tak tahan lagi. Aku tahu manusia-manusia itu takkan ada yang berusaha membuatku sembuh. Mereka akan membiarkanku. Membantuku sekadarnya. Atau kalau pun memang mereka akan berjuang menyembuhkanku, aku rasanya tetap tak begitu senang. Karena hidup di sini juga hanya untuk merasakan pilu belaka.

Tak seperti sekira Sembilan tahun lalu, saat aku masih berusia dua tahun, aku masih hidup dalam pelukan ibuku. Kami makan, tidur, dan berkeliaran bebas di tengah hutan. Tepatnya, di hutan bagian utara pulau Sumatra. 

Pohon-pohon dan hutan sangat mencintai kami. Makanan berlimpah disuguhkan hutan kepada kami karena kami terus membantu. Menyebar biji-biji untuk pertumbuhan pohon dan membuka daun-daun pepohonan yang tumbuh menutupi tubuh hutan dari sinar matahari. Tak banyak penghuni hutan yang dapat melakukan semua itu. Selain kami. Spesies kami: Orangutan.

Namun, manusia—makhluk yang sebenarnya paling bengis dan menjadi ancaman terbesar kami selain Harimau Sumatra—banyak yang serakah dan tak punya belas kasih. Hutan terus mereka gunduli dan menangkap dan membunuh makhluk-makhluk yang dicintai dan mencintai hutan. Termasuk aku dan ibu.

Ah, itu adalah kejadian paling memilukan dalam hidupku. Suatu pagi, ibu kembali ke sarang kami dari mengambil buah Neesia untukku dengan cemas dan ketakutan. Belum sempat aku memakan buah Neesia yang dibawakannya, ibu langsung menggendongku dengan sebelah tangannya untuk keluar dari sarang. Aku bertanya padanya, “apa yang terjadi?” Dengan tingkah terburu-buru, ia langsung menjawab, “kita harus menjauh dari sini, karena ada sekelompok manusia datang menebang pohon-pohon di sekitar sarang kita.” 

Ibu takut pohon tempat sarang kami berada juga akan ikut ditebang. Atau, jika pun tidak ditebang, ibu takut sekelompok manusia penebang itu akan melihat keberadaan kami lalu menangkap kami. Sebab ibu pernah melihat bagaimana ngerinya keluarga Orangutan lain ditangkap oleh sekelompok manusia beberapa tahun sebelum itu. Ditangkap dengan cara yang benar-benar tidak punya belas kasih.

Maka demi menghindari itu, ibu membawaku pergi ke arah entah. Ibu memintaku naik dan berpegangan di punggungnya selama perjalanan melompat dan bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain untuk mencari tempat aman. Beberapa kali ibu terpaksa menghentikan perjalanan untuk beristirahat dan menghindari intaian Elang Hitam yang terbang melintas di atas kami. Ibu melompat ke pohon yang ranting dan daunnya  lebih lebat agar kami dapat bersembunyi dari si Elang Hitam. Sebab hewan yang satu itu, adalah predator yang juga takkan segan memangsa spesies kami. Ia pasti akan mendekat dan merobek kulit dan daging kami dengan paruh dan cakarnya yang tajam bila kami dilihatnya.

Hingga sore menjelang, ibu barulah menemukan tempat aman buat kami. Aku turun dari punggungnya lalu ia pergi mencari makanan untukku. Sementara aku menikmati makanan, ia kemudian membangun sarang baru, karena malam akan tiba dan kami tak mungkin tak punya tempat berteduh dari dingin malam dan intaian predator lain. Kami aman dan nyaman malam itu, dan hingga malam berikutnya. Namun tidak pada malam berikutnya lagi. Aku didera senyata-nyatanya mimpi paling buruk.

Aku menangis terus semalaman itu dan berharap kejadian yang baru saja menimpaku dan ibu adalah benar-benar mimpi buruk dan aku bisa segera terbangun. Tapi nyatanya tidak. Hingga esok pagi menjelang, aku masih tak percaya bahwa aku telah kehilangan ibu. Ya, ibu hilang secara tragis. Oleh manusia.

Peristiwanya terjadi pada sore sebelumnya. Aku dan ibu keluar sarang untuk mencari makanan. Saat itu, kami baru mengetahui kalau ternyata tak jauh dari sarang kami terdapat sebuah perkebunan kelapa. Kami tentu senang melihat banyak pohon kelapa terhampar di depan mata kami. Apalagi sedang berbuah dan matang pula. Kami merasa punya stok makanan yang berlimpah untuk beberapa hari ke depan.

Namun ketika tak berapa lama kami telah naik ke satu pohon kelapa, dan baru memetik satu buah, satu manusia datang dan berteriak dari bawah. Dari gelagatnya aku bisa melihat kalau manusia itu sedang marah, karena teriakannya yang tak henti-henti sambil mengacungkan sebelah tangan ke arah kami.

Awalnya, aku merasa biasa saja. Apa yang ia katakan dan kenapa ia marah, aku tak peduli karena aku tak tahu. Sampai aku melihat ibu yang berubah ketakutan, barulah aku sadar bahwa kami berada dalam bahaya. Manusia itu pergi beberapa saat lalu kembali lagi dengan bambu panjang yang terpasang celurit di ujungnya dan beberapa manusia. Kami kemudian disorong-sorongnya dengan ujung bambu bercelurit itu. Ibu akhirnya jatuh dan terhempas ke tanah karena celurit itu berhasil membuatnya lemas setelah berkali-kali menusuk dan merobek tubuhnya. Sedang aku, jatuh tanpa segores pun luka. Tubuhku ditampung dengan terpal lebar oleh beberapa teman manusia itu begitu hendak menyentuh tanah.

Sebelum aku dibungkus dengan terpal penampungku, aku sempat melihat ibu yang terkapar di tanah berlumuran darah. Satu manusia menendang tubuhnya untuk memastikan: apakah ia sudah mati atau belum. Aku berharap ibu tak mati. Tapi begitu kulihat kedua matanya yang tertutup, aku segera tahu bahwa harapanku ternyata pupus adanya. Ibu mati di usianya yang baru beberapa minggu menginjak Sembilan tahun.

Sejak itulah, hidup kurasakan hanyalah pilu belaka. Beberapa bulan aku tinggal dalam kandang kayu berukuran kecil di teras rumah manusia yang membunuh ibu. Aku diberinya makanan sisa keluarganya dan hanya sesekali buah-buahan utuh. Jika aku dirasa bau, aku akan diseret keluar kandang dengan tali yang dijeratkan ke leherku, untuk dimandikan dengan air dingin dengan kedua tanganku diikat tali terlebih dahulu. Selama itu tubuhku jadi kurus dan aku sering dilanda sakit, tapi manusia itu sungguh tak pernah peduli. Barang sekali pun.

Sebulan terakhir dalam sekapannya, barulah si pembunuh ibu itu agak lebih perhatian padaku. Tiba-tiba saja. Ia mendatangkan dokter untuk memeriksaku, mencekokiku ramu-ramuan, memberiku buah-buahan segar, dan rutin membersihkan kandangku. Sempat aku merasa aneh melihatnya. Namun belakangan aku tahu bahwa itu semua ia lakukan lantaran ia telah menemukan manusia lain yang mau membeliku. Dari situ aku akhirnya tahu kenapa saat memaksa aku dan ibu turun dari pohon kelapa, si pembunuh itu berusaha untuk tidak melukaiku. Ternyata sejak awal ia telah berniat akan menjualku.

Maka aku sudah nampak lebih sehat ketika manusia yang mau membeliku datang melihat. Bobot tubuhku naik, dan bulu-buluku yang semula banyak rontok telah tumbuh lebat lagi. Si pembeli memandangku dengan cahaya mata cukup girang. Namun tidak denganku. Bahaya lain yang mungkin lebih pilu, kutangkap dari matanya.

Tapi ternyata, firasatku salah. Si pembeliku itu adalah manusia kaya yang memiliki halaman rumah yang sangat luas dan keluarga yang sangat baik. Aku ditempatkan dalam kandung jeruji yang juga cukup luas dengan banyak burung cantik di dalamnya. Ada tanaman-tanaman seperti pepohonan, yang bisa kupanjat dan kegelantungi. Dan buah-buahan segar dan enak juga selalu disediakan untukku setiap pagi. Di sanalah aku kemudian mengenal beberapa buah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Satu manusia kecil yang sangat baik—anak dari si pembeliku—sering memberikanku buah-buahan itu. Buahnya terasa sangat dingin dan berkeringat.

Tapi, tetap saja. Meski betapa bahagianya kurasakan tinggal di situ, itu bukanlah hutan: tempat di mana seharusnya aku tinggal. Aku tetap merindukan ibu, buah Neesia, dan rimba raya yang mengandung begitu banyak rahasia. 

Pernah suatu kali aku menderita diare, setelah hampir dua tahun tinggal menjadi peliharaan si pembeliku itu, badanku lemas sehingga aku lebih banyak tidur. Dalam beberapa kali tidurku, aku bermimpi hutan memanggilku. Suara terdengar sangat sedih. Sungguh mimpi itu terasa begitu nyata. Sampai-sampai, ketika aku merasa telah cukup bertenaga karena sudah agak baikan, aku langsung memberontak ingin keluar dari kandang, untuk pulang kembali ke pelukan hutan. Namun karena tak bisa keluar, aku lantas menghancurkan apa saja yang kulihat di dalam kandang. Tanaman, makanan, dan pernak-pernik yang menghiasi isi kandang, tak ada yang lepas dari amukanku. 

Itulah saat pertama kalinya aku merasa benar-benar kehilangan kendali. Kepalaku rasanya penuh dengan suara rintih panggilan hutan yang tak bisa kupenuhi. Saat setelah entah berapa lama aku mengamuk, aku tiba-tiba merasa lemas kembali karena kurasakan sesuatu menancap di punggungku. Aku pingsan cukup lama, lalu sadar kembali dengan rasa lapar tak tertahankan.

Tiga tahun setelah kejadian itu, setelah hampir lima tahun aku dipelihara si pembeliku, nasib buruk yang lain ternyata kembali menghampiriku. Entah karena apa, aku dijual kembali oleh pembeliku itu, kepada manusia yang membuatku harus berlatih melakukan beberapa permainan dan atraksi yang sangat aneh. Semula, aku tak tahu untuk apa aku melakukannya. Hingga kemudian aku dibawa masuk ke sebuah arena pertunjukan yang penuh dengan tatapan manusia, karena telah mahir melakukan semua permainan dan atraksi yang diajarkan, barulah aku tahu ternyata aku diikutkan dalam satu kelompok sirkus. 

Jadi, di sinilah aku sekarang. Hampir empat tahun sudah, aku ikut dibawa berpindah-pindah kota, dan melakukan apa pun yang diperintahkan sang pawang, sebagaimana yang telah diajarkan padaku, semata-mata demi mendapatkan rasa takjub dan tepuk tangan manusia-manusia yang hadir menyaksikan pertunjukan. Mereka senang dan tak peduli bagaimana hari-hari pedih yang kujalani ketika berada di balik arena pertunjukan. Dan tak peduli, bahwa tempatku sebenarnya bukanlah di sini.


Rantauprapat, Januari 2019.

0 komentar:

Posting Komentar