Sabtu, 22 Juni 2019

HOPE: Sebuah Penyesalan dan Keadilan yang Tak Berpihak


Satu film yang berkisah tentang kekerasan terhadap anak yang pernah saya tonton dan menjadi film yang paling membekas di ingatan saya adalah, film Arie Hanggara. Arie, begitu anak lelaki berumur 8 tahun yang menjadi tokoh utama di dalam film itu dipanggil, meregang nyawa setelah berhari-hari dihukum ayah kandung dan ibu tirinya dengan tindakan-tindakan yang memang luar biasa kejam. Serupa dengan film tersebut, film dari Negeri Ginseng yang berjudul Hope ini pun diangkat dari kisah nyata.

Namun bedanya dengan kisah Arie Hanggara, tokoh utama dalam film Hope ini, So-Won–yang diperankan oleh artis cilik nan cantik bernama Lee Re–beruntung tidak sampai meregang nyawa. Namun begitu, kekerasan yang diterima So-Won bukan berarti tidak membuat saya yang menontonnya tak ikut merasa nelangsa. Dampak yang ditanggung So-Won justru lebih berat dari yang ditanggung oleh Arie. Sebab So-Won harus menanggung trauma yang begitu berat dan dalam, karena bagian vital tubuhnya menjadi cacat dan kecacatan itu kemudian harus ia tanggung seumur hidup.

Adalah Nayoung, gadis kecil berumur 8 tahun yang menjadi inspirasi dibuatnya film ini. Yang menjadi sosok penanggung kisah nyata dibalik kisah pilu So-Won. Pada tahun 2008, Nayoung diperkosa dan dianiaya oleh lelaki asing berumur 57 tahun dengan inisial Cho di sebuah toilet gereja yang terletak tak jauh dari sekolah Nayoung. Sebagaimana kejadian dalam film berjudul Hope ini, Nayoung dijegat dan diseret oleh lelaki tersebut ketika dalam perjalanan berangkat ke sekolah.

Masyarakat Korea Selatan sontak bereaksi begitu kisah pilu Nayoung mencuat waktu itu. Mereka menuntut keadilan untuk Nayoung dan mendorong aparat menindak tegas para pelaku Pedofilia.

Maka atas alasan inilah barangkali sutradara terkenal bernama Lee Joonik terdorong untuk menggarap film Hope ini. Dan terbukti, pada tahun 2013–5 tahun setelah kasus Nayoung berlalu–Hope tetap sukses menyentil emosi banyak orang, termasuk saya. Tak terhitung entah sudah berapa kali saya menonton film ini. Rasanya, ini adalah film paling menguras emosi dan menyayat-nyayat hati yang belum kunjung bosan saya tonton. Bahkan sampai hari saya membuat tulisan ini, saya telah menontonnya sekali lagi.

Namun yang berbeda dari kejadian yang dialami Nayoung, di film ini, So-Won mengalami kejadian serupa yang dialami Nayoung, di lokasi konstruksi yang berada di depan sekolah So-Won. Bukan di toilet gereja.


 Sebelum sampai pada kejadian yang dialami So-Won, film dibuka dengan menampilkan kisah keseharian So-Won dan Ayah-Ibunya. Seperti halnya keluarga lain, So-Won sehari-hari hanya sibuk bersekolah dan mengerjakan tugas dari sekolah di rumah. Ibunya (Uhm Ji-won), sehari-hari hanya sibuk berjualan di toko yang terhubung langsung dengan bangunan rumah mereka. Dan Ayahnya (Sol Kyung-gu), sibuk bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik pengolahan logam. Namun ketika sudah pulang ke rumah, sang Ayah yang merupakan penggila olah raga Baseball tersebut akan asyik menonton pertandingan Baseball di televisi hingga larut malam bahkan hingga pagi, tak banyak melakukan apa-apa di rumah.

Melihat kesibukan kedua orang tuanya tersebut, So-Won yang anak semata wayang pun tumbuh menjadi anak yang mandiri. Ia tak pernah mau bermanja-manja dengan orang tuanya. Selain itu, So-Won juga siswi yang pintar di kelasnya. Di antara semua pelajaran, Matematika adalah yang paling ia senangi. Kecantikan dan kehebatan akting Lee Re pun tak kurang membuat saya sangat menikmati tingkah menggemaskan tokoh So-Won yang ia perankan. Sampai kemudian nasib buruk yang menimpa gadis kecil itu tiba, saya masih selalu merasa seperti tak bisa menerima keceriaan So-Won semula direnggut begitu saja.

Sedang turun hujan hari itu, ketika nasib buruk itu datang menimpa So-Won. Seperti biasa, ia berangkat ke sekolah berjalan kaki sendirian dengan mengenakan payung. Saat baru keluar rumah, Ibunya sempat menghampiri dan menawarinya diantar ke sekolah. Namun karena kesal lantaran Ibunya lagi-lagi tak sempat mengikatkan rambutnya, ia menolak tawaran ibunya tersebut. Toh lagi pula ia bisa berjalan lebih cepat jika sang Ibu tidak mengantarkan, katanya pada Ibunya pagi itu. Namun sungguh takdir tak bisa diterka, andai saja So-Won mau diantar Ibunya, peristiwa nahas yang menimpanya pagi itu pasti takkan terjadi.

Setelah kejadian, pagi itu juga So-Won yang malang berhasil dievakuasi oleh pihak kepolisian setelah So-Won yang sebenarnya sudah sangat lemah, berhasil melakukan panggilan darurat ke nomor 119 melalui ponselnya. Dalam keadaan sekarat dan penuh luka sayat, So-Won langsung dilarikan ke rumah sakit. Di sana, dengan hati yang sudah pasti remuk redam, kedua orang tua So-Won pun tentu saja terkulai lemas melihat kondisi So-Won.

Lantaran melihat parahnya luka di bagian vital tubuh So-Won, operasipun tak terhindarkan. Dan agar bertahan hidup, usus besar dan anus So-Won terpaksa harus diangkat dari tubuhnya dan digantikan dengan stoma usus dan anus buatan. Yang mana lubang dari anus buatan tersebut dibuat berpindah di perut sebelah kanan. Miris sekali saya membayangkan bahwa selama hidupnya, So-Won akan membuang kotorannya (tinja) dari lubang tersebut. Dan dengan stoma usus dan anus buatan itu, So-Won takkan bisa lagi menahan kotorannya apabila hendak keluar. Kotorannya akan terus keluar dengan sendirinya dari lubang tersebut.

Sehingga untuk mencegah kotorannya keluar mengotori pakaiannya, So-Won harus terus memasang kantung Kolostomi di lubang tersebut sebagai penampung. Jika kantungnya penuh atau bocor, maka ia harus segera menggantinya dengan yang baru. Sungguh tak terbayangkan bukan, betapa menyebalkan dan menyedihkannya hidup gadis kecil itu.

Belum lagi dampak psikis yang dialaminya setelah itu. Ia menjadi takut berhadapan dengan dunia luar dan bertemu dengan orang asing. Bahkan untuk masuk sekolah lagi dan bertemu dengan teman-temannya, ia merasa malu. Ia khawatir teman-temannya mengetahui peristiwa buruk yang dialaminya dan kecacatan yang ditanggungnya. Dan yang paling menyedihkan, ia juga menjadi takut bertemu dan berhadapan dengan lelaki dewasa. Di matanya, setiap lelaki dewasa nampak seperti pelaku yang telah menghancurkan hidupnya. Tanpa terkecuali, sang ayah pun turut ia takuti.


Tapi untunglah, rasa takut So-Won pada ayahnya itu akhirnya hilang juga. Lantaran gigihnya perjuangan sang ayah mendekati anak gadisnya itu, dengan selalu mengikuti So-Won ke mana pun So-Won pergi dengan mengenakan kostum figure kesukaan So-Won: Kokomong, berhasil. Di situ, So-Won akhirnya sadar bahwa sang ayah melakukan itu semata-mata hanya karena ingin bisa berinteraksi lagi dengannya secara langsung. Dan, tentu saja, ingin melihat lagi keceriaannya. (Ah, di sini adalah momen paling mengharukan dalam film ini)


Namun sungguh momen haru itu tak bertahan lama, emosi saya kembali dibuat terbakar. Sebab satu kabar pahit datang merundung So-Won dan kedua orang tuanya, yaitu kabar mengenai hukuman untuk pelaku yang telah memperkosa dan menganiaya So-Won.

Meskipun telah melakukan kejahatan yang seharusnya terbilang luarbiasa, ternyata pelaku masih akan sangat mungkin mendapatkan hukuman yang tidak setimpal, bahkan termasuk ringan, karena pelaku memiliki pembelaan yang dianggap cukup kuat. Untuk mengantisipasi hal tersebut terjadi, kepolisian pun akhirnya terpaksa meminta So-Won bersaksi di pengadilan. Ini berat. Karena kondisi mental So-Won saat itu, belum cukup kuat untuk kembali dihadapkan dengan masalah tersebut. Kedua orang tua So-Won pun sempat menolak permintaan pihak kepolisian itu.

Namun karena tahu bahwa di dalam hati kecil So-Won sendiri pun So-Won ingin pelaku dihukum berat, kedua orang tua So-Won akhirnya menyetujui So-Won bersaksi di pengadilan. Di sinilah, saat-saat yang paling menyulut amarah dalam film ini, menurut saya.

Saya menyoroti dua hal yang memang janggal dalam proses hukum yang dijalani pelaku pemerkosa dan penganiaya So-Won, yang mana menjadi klimaks film ini.

Pertama: beberapa hari setelah kejadian, pelaku tidak bisa segera ditangkap karena surat perintah penangkapan belum keluar dan diterima oleh kepala penyidik yang menangani kasus tersebut, Sebab bukti yang mengarah kepada pelaku dianggap belum cukup kuat. Padahal, di lokasi kejadian telah ditemukan sidik jari dan rompi milik pelaku. Namun sungguh aneh, kedua bukti tersebut tetap dianggap belum cukup kuat.

Kontras sekali dengan proses penyelidikan di Indonesia. Di negeri ini, bahkan cukup dengan salah satu dari kedua bukti itu saja, seseorang pasti sudah bisa diringkus dan ditahan polisi.

Maka atas alasan itu, dengan sangat terpaksa, kepolisian harus mendapatkan penjelasan dan kesaksian langsung dari So-Won agar bisa menangkap pelaku tanpa surat perintah penangkapan. So-Won yang baru tiga hari selesai dioperasi dan masih dalam kondisi mental yang sangat tidak stabil kala itu, bersyukur sekali bisa memberi kesaksian dengan bantuan terapis (seorang perempuan tua yang membantu pemulihan psikis So-Won).

Kedua: di persidangan, pelaku terus membantah kalau dirinya telah berbuat jahat pada So-Won, karena pada hari kejadian ia mengatakan dirinya sedang dalam keadaan pengaruh alkohol dan tidak ingat apa-apa. Katanya lagi: ia tidak pernah tahu apa pun yang ia lakukan apabila sedang dalam pengaruh alkohol.

Aneh sekali, bukan? Bagaimana bisa ia yakin ia tidak berbuat jahat kepada So-Won sementara ia yakin kalau ia tidak bisa mengingat apa-apa jika sedang dalam pengaruh alkohol? Bukankah itu sama saja seperti seseorang yang sudah tahu kalau ia mengidap sleep walking tapi ia tidak percaya kalau ia telah berjalan sendiri dari tempat tidurnya ketika mendapati dirinya sudah berada di tempat lain?

Karena menimbang pernyataan pelaku itulah hakim pun menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara. Untuk tindak pidana luar biasa seperti itu, hukuman 12 tahun penjara memang tidak tepat rasanya. Maka pantaslah masyarakat Korea Selatan berang karena pelaku yang telah menghancurkan hidup Nayoung pun hanya dihukum segitu. Jika saja hakim tidak menimbang hal tersebut, pelaku pasti dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup. Apalagi, pelaku adalah mantan narapidana yang pernah melakukan kejahatan yang sama: Pedofilia.

Tepat setelah hakim membacakan putusannya, seorang hadirin sidang (teman baik ayah So-Won) yang merasa hukuman tersebut terlalu ringan, spontan bereaksi dengan mengatakan, "jika ia bisa selamat dari hukuman berat karena pengaruh alkohol, maka berkendara dalam pengaruh alkohol pun seharusnya tidak pernah dihukum". Namun hakim mengabaikannya dan ruang sidangpun menjadi ricuh.

Benar sekali. Bagaimana mungkin kejahatan yang dilakukan karena pengaruh alkohol bisa dapat pemakluman, apalagi kejahatan yang dilakukan tergolong luar biasa dan telah dilakukan berulang-ulang? Sungguh tidak adil. Masyarakat pantas merasa dicederai oleh karena itu.


Namun, apa boleh buat. Bukan bermaksud ingin pasrah, tapi memang begitulah yang pada akhirnya harus terjadi. Yang mungkin memang ditakdirkan untuk Nayoung (dalam film: So-Won). Ternyata keadilan tidak berpihak padanya. Sehingga satu-satunya cara yang memang harus ditempuh oleh So-Won dan orang tuanya hanyalah berlapang dada. Menunggu hukuman dari Tuhan datang menjerat pelaku. Jika harus menyesal, So-Won juga pasti menyesal karena tidak mengikuti kata hatinya hari itu, saat ia berangkat ke sekolah dan sedang turun hujan. Ia tetap memaksa lewat dari jalan raya untuk sampai ke sekolah karena perintah sang Ibu. Jalan yang ternyata justru mempertemukannya dengan pelaku yang memberinya nasib buruk.



Identitas Film:

Judul Film: Hope
Negara: Korea Selatan
Tahun Rilis: 2013
Sutradara: Lee Joonik
Aktor: Lee Re (So-Won), Sol Kyung-gu (Ayah So-Won), Uhm Ji-won (Ibu So-Won)

0 komentar:

Posting Komentar