Senin, 27 September 2021

CERPEN: SURAT UNTUKMU DI PARIS

Jika mengingat saat-saat kebersamaan kita dulu, rasanya seperti belum lama jarak merentangkan kita hingga sejauh ini. Namun, jika mengingat silam tahun yang membawaku pergi, segera aku tersadar bahwa betapa waktu telah memisahkan kita begitu lama. Dan, sungguh berdosanya aku, karena tak pernah sekali pun memberi kabar kepadamu. Bahkan menghubungimu untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata pun, tidak. Padahal sebenarnya, sangat besar keinginanku bisa mendengar lagi suaramu.
    
Aku merindukanmu, itu sudah pasti. Namun bukan itu alasanku menulis surat ini. Aku hanya sangat ingin mengatakan tentang hal-hal yang selalu ingin kukatakan padamu sejak dulu, yang tak pernah bisa kukatakan karena kekhawatiran-kekhawatiran yang kerap mengusikku. Perihal-perihal itu, andai saja aku berhasil mengatakannya sebelum akhirnya kutinggalkan perdebatan panas kita di meja dapur apartemenmu waktu itu, untuk kemudian pergi mengikuti anganku, sungguh aku pasti takkan dihantui rasa bersalah kepadamu. Aku sangat menyesal.
 
Namun, ya, semuanya memang sudah berlalu. Tak ada gunanya lagi aku menyesali semua itu. Dan aku yakin, kau pun pasti telah memaafkanku. Sebab kau adalah kakakku, satu-satunya saudara dan keluargaku. Kau takkan menyimpan dendam padaku hanya karena perdebatan kita itu. Namun begitu, biarkan aku menjelaskan alasanku pergi waktu itu. Agar setidaknya, aku lepas dari rasa bersalah yang menghantui seumur hidupku. 
 
Barangkali kau masih ingat, sewaktu kita kecil dulu, di ruang keluarga apartemen orang tua kita yang hangat, Ibu pernah bercerita tentang sebuah negeri yang ingin sekali ia kunjungi kepada kita berdua. Sebuah negeri, yang selalu dapat membuatnya menjatuhkan air mata setiap kali mengingatnya. Ya, Indonesia. Negeri yang kemudian kau anggap menyimpan sekelumit bahaya untuk kita. Negeri yang akhirnya kutuju, dan membuatku meninggalkanmu, sendirian di Paris. 
 
Apa kau tahu, ketika sepasang mata Ibu tiba-tiba menjadi basah saat menceritakan negeri itu saat pertama kalinya kepada kita itu, aku sebenarnya sudah bisa merasakan bahwa bukan cuma kerinduan untuk negeri itu saja yang Ibu simpan dalam dadanya. Aku bisa merasakan gejolak yang begitu hebat ketika Ibu mengecup ubun-ubun kita bergantian setelah mengakhiri ceritanya. Dan gejolak itu, meskipun ia tutupi karena mengingat usia kita yang memang belum pantas untuk tahu apa penyebabnya, telah membuatku begitu bertekad ingin membawa Ibu ke negeri itu suatu hari nanti. 
 
Aku lantas menyampaikan keinginanku itu pada Ibu beberapa bulan kemudian. Suatu pagi, ketika kau belum pulang dari sekolah, juga di ruang keluarga kita itu, yang kebetulan sedang ada Ayah menonton drama kesayangannya di TV: Arsene Lupin, aku berkata pada Ibu yang tengah sibuk dengan kertas-kertas dan pena: “Bu, aku akan membawa Ibu ke Indonesia jika aku besar nanti. Ibu tunggu saja.”
 
Apa kau tahu apa yang terjadi setelah aku mengatakan itu? Ayah dan Ibu sontak menatapku dengan mata terbelalak, dan mereka kemudian saling pandang sekejap seperti dua orang yang mendadak mendapat kejutan yang tak disangka-sangka. Ayah yang merasa bingung dan segera membatin bahwa Ibulah yang telah membuatku tahu nama negeri itu, kemudian menuntut pertanggungjawaban Ibu. 
 
Kata Ayah dengan nada suara yang terdengar jelas menahan kesal, “kau bilang apa saja pada bocah lelaki kecilku ini? Mengapa dia bicara soal Indonesia?” 
 
Namun bukannya menjawab jujur, Ibu malah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala, seolah menolak tanggung jawab yang dituntutkan Ayah padanya. 
 
Ayah yang melihatku menantikan jawaban Ibu pun mau tak mau jadi harus menyudahi kesenangannya—berhenti menonton drama yang diadaptasi dari novel karya Maurice Leblanc itu—lalu membawaku ke ruang lukisnya yang jarang sekali bisa kita masuki. Di sana, ia menarikku mendekati meja yang kemudian ia bentangkan selembar kertas nan lebar di atasnya. “Ini adalah peta dunia,” katanya padaku yang memang belum mengenal nama kertas lebar itu dulu. “Di sini, seluruh negeri yang ada di dunia, bisa kita lihat di mana letaknya.”
 
Tentu aku jadi tahu letak dan bentuk pulau-pulau negara Indonesia setelah melihat peta itu. Tapi karena tak bisa membayangkan seberapa jauhnya negeri itu dari Perancis, negara kelahiran kita, maka Ayah pun menjelaskan padaku, bahwa jika ingin sampai ke sana, butuh waktu berhari-hari bila menumpang kapal, dan butuh uang yang banyak bila menumpang pesawat. 
 
Kau tahu, apa yang kupikirkan begitu mendengar penjelasan Ayah itu? Ya, nampaknya aku harus jadi lelaki kaya terlebih dahulu, agar bisa sampai ke negeri itu dengan cepat dan mudah. 
 
Tetapi, bukan itu sebenarnya yang menjadi kejutan bagiku waktu itu. Melainkan mengetahui bahwa Ayah dan Ibu takkan bisa lagi kembali ke negeri itu. Ya, negeri yang ternyata adalah negeri kelahiran mereka. Bisakah kaubayangkan, bagaimana jerinya hati anak yang baru berusia enam tahun, terpaksa harus mendengar tragedi memilukan yang menimpa kedua orang tuanya, yang mana tragedi itulah menjadi penyebab mereka tak bisa kembali ke negeri itu, langsung dari mulut Ayahnya sendiri? Aku sampai mimpi buruk beberapa malam setelah mendengar itu.
 
Aku tahu bahwa kau pun sudah tahu mengenai tragedi itu. Namun begitu, perkenankan aku mengisahkannya kembali dalam surat ini. Semata-mata hanya untuk mengungkapkan gelisah yang kurasakan sejak tragedi itu kuketahui, dan membuatku akhirnya pergi meninggalkanmu dulu. 
 
Jujur saja. Mulanya, aku merasa tragedi yang merundung orang tua kita itu tak ubahnya dongeng belaka. Ayah yang menceritakannya dengan gayanya yang sangat ekspresif, sungguh membuatku terpana jadinya dengan cerita itu, sehingga hampir lupa aku bahwa tragedi itu memang sungguh nyata. 
 
Kata Ayah dalam ceritanya itu: ada tujuh orang jenderal dibunuh di sebuah tempat bernama Lubang Buaya. Aku masih ingat sekali bagaimana sepasang mata Ayah menerawang kenangan pahit yang ia alami setelah tragedi pembunuhan para jenderal itu, sepanjang ia menceritakannya. Ia melanjutkan: ada sebuah kelompok—waktu itu, Ayah tak menyebutnya “Partai” karena mengira aku pasti takkan mengerti dengan kata itu—yang bernama PKI, dituduh sebagai pelaku pembunuhan para jenderal itu. Sehingga orang-orang yang diduga turut menjadi bagian dari kelompok itu, akhirnya diburu hingga ke mana-mana. Begitu dapat, mereka ditahan, disiksa, bahkan sampai ada yang dibunuh.
 
Ayah kemudian terlihat sangat sedih setelah itu, ya, aku masih mengingat raut mukanya. Tapi ia tetap lanjut mengatakan, bahwa betapa sial jadinya dirinya setelah mencuatnya berita kematian tujuh Jenderal itu. Sebab ia yang hanya seorang pelukis dan tak paham sedikit pun soal politik dan ideologi yang hendak ditumpas aparat yang kemudian jadi murka, turut pula diburu, karena kebetulan ia memang tergabung dalam salah satu organisasi yang juga berada dalam kendali PKI waktu itu. Maka demi menghindari perburuan, ia pun memutuskan lari dari kotanya hingga ke beberapa kota di pulau Sumatera dan Kalimantan. Lalu, ketika mendapat celah untuk keluar dari Indonesia, ia terbang ke Belanda untuk menetap di sana hingga beberapa bulan. 
 
Dari Belanda, barulah Ayah berpindah ke Paris, Perancis. Alih-alih ingin mendapatkan suaka sementara setelah berpindah dari Negeri Kincir Angin itu, ia ternyata malah menetapkan hati untuk tinggal selamanya di Paris, lantaran telah jatuh hati pada seorang perempuan yang ternyata sama nelangsanya dengan dirinya. Ya, kau tahu perempuan itu adalah Ibu.

Bertahun-tahun setelah mendengar cerita Ayah di ruang lukis itu, tepatnya ketika telah menginjak sebelas tahun usiaku, pikiranku akhirnya mulai bisa berpikir kritis. Kau tahu? Aku memikirkan lagi cerita Ayah di ruang lukisnya itu dengan membuat penghakiman: bahwa betapa bodoh dan pecundangnya Ayah kita itu. 
 
Kita sama-sama tahu bahwa ia bukanlah orang yang turut serta membunuh para jenderal itu, dan bukan pula termasuk penganut ideologi yang ditumpas aparat setelah tragedi pembunuhan itu. Jangankan menganutnya, kita bahkan tahu betul bahwa ia memang tak mengerti sedikit pun soal itu. Ia hanya mengerti soal kanvas, cat, dan kuas. Jadi, kenapa ia harus lari? 
 
Aku akhirnya menanyakan itu langsung pada Ayah ketika kutemukan satu kesempatan sedang berdua dengannya. Kau tahu apa jawabannya? Dengan raut muka yang nampak ragu, ia berkata, “ada saatnya di mana keberanian dan keyakinanmu terhadap suatu kebenaran lebih baik dikubur dalam-dalam. Terlebih bila yang dihadapi adalah kesalahpahaman yang sedang mendapatkan dukungan suara dan gerakan kelompok mayoritas yang sebenarnya tidak paham betul akar masalahnya, namun terlanjur dibuat berang. Sia-sia saja melawan.
 
Jika kau pernah menanyakan hal yang sama, lalu Ayah menjawab dengan jawaban yang ternyata juga sama seperti itu, kira-kira apa pendapatmu? Apakah kau akan menganggap langkah yang Ayah lakukan adalah hal yang benar, atau justru salah? Sungguh aku ingin sekali sebenarnya mendengar jawabanmu secara langsung.
 
Namun sekiranya boleh aku menebak, kukira kau sepertinya akan menjawab: Ayah telah melakukan hal yang benar. Ya, kau pasti akan mengatakan itu. Benar, kan? Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Mengingat bagaimana bersikerasnya kau ingin menggagalkan niatku untuk pergi akhirnya ke Indonesia dulu, tentulah kau akan membenarkan tindakan lelaki jangkung yang tak pernah memarahimu itu. 
 
Lantas, bagaimana dengan Ibu?
 
Aku tak pernah tahu kapan kau mulai tahu derita yang dialami Ibu atas tragedi itu. Namun jika kau ingin tahu kapan aku mengetahuinya, adalah juga saat usiaku masih sebelas tahun. Saat pertanyaan tentang pelarian Ayah mengusik pikiranku. 
 
Seperti halnya Ayah, tuduhan “Komunis” pun melekat pada Ibu, kata Ibu ketika aku mengganggu kesibukannya di dapur. Dan seperti yang kita tahu, Ibu kita yang berparas cantik khas perempuan Asia dan berhati lembut itu selalu mudah menjatuhkan air matanya setiap kali pikirannya terbawa kembali ke kenangan itu. Pipinya sampai kuyup saat menceritakan kisahnya padaku waktu itu. 
 
Di akhir cerita Ibu, aku menemukan dua hal yang membedakan pengalaman Ibu dan Ayah atas tragedi itu. Pertama: Ibu tak lari dari Indonesia, melainkan tak bisa pulang. Kedua: Ibu cukup paham dengan ideologi ciptaan Karl Marx yang juga akhirnya runtuh di Uni Soviet itu, tapi tidak menganutnya sebagai landasan pemikiran-pemikirannya.
 
Pada akhir Juni tahun 1965, Ibu memutuskan berangkat ke Thailand untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2. Sebelum masuk semester pertama perkuliahan, ia sempat memutuskan kembali beberapa hari ke Indonesia pada pertengahan bulan Juli untuk mengambil beberapa barang penting miliknya. “Sekaligus ingin bertemu dengan Nenekmu, Mama Ibu, yang masih sering sedih karena baru ditinggal mati suaminya (Kakekmu) setahun sebelumnya. Ibu pulang sekejap agar ia tak tambah sedih,” katanya sambil menatap lekat mataku, sebagai tambahan alasan kepulangannya ke Indonesia waktu itu. Namun malang, setelah keberangkatannya kembali ke Thailand, Ibu sungguh tak pernah bisa kembali lagi ke Indonesia setelah itu. Bahkan ketika Nenek (Ibunya) akhirnya meninggal dunia karena serangan jantung pada pertengahan Oktober 1965, Ibu benar-benar tak bisa pulang walau barang sekejap. Karena tepat pada tanggal 30 September 1965—tanggal meledaknya tragedi itu—keluarganya telah melarang keras ia kembali ke Indonesia. 
 
Keluarga Ibu pun percaya kalau Ibu bukanlah penganut komunisme. Hanya saja, keluarganya melarang keras ia kembali, karena ia adalah wartawan di salah satu media yang loyal pada PKI kala itu. Sebagaimana kabar penangkapan terduga antek dan simpatisan PKI yang beredar luas dan beringas saat itu, sudah cukup membuat keluarganya yakin kalau ia pun akan dianggap sebagai virus berbahaya lantaran pekerjaannya tersebut. 
 
Aku masih ingat apa yang dikatakan Ibu sebagai penegasan bahwa dirinya bukanlah orang yang hidup dalam pemikiran komunis, saat itu. Dengan sedikit tersenyum, ia mengatakan, “hanya karena kau tinggal satu atap dengan sekelompok Muslim, Katholik, Buddha, Hindu, atau Yahudi; bukan berarti kau juga pasti memeluk agama yang sama, kan?! 
 
Sungguh, Aku melihat jelas bara yang marak di mata Ibu setelah mengatakan itu. Bara yang kuduga marak karena mengingat Kakaknya yang hilang kabar tiga minggu setelah berita kematian para jenderal di lubang buaya itu. Kakaknya tersebut, adalah lelaki kedua yang ia sayangi setelah Ayahnya, karena satu-satunya saudara yang ia punya. Katanya: tak ada seorang pun keluarganya yang mengetahui kabar Kakaknya tersebut, bahkan hingga kini. 
 
Tak hanya Kakaknya, beberapa sanak saudara mereka pun ikut ditangkap sebulan setelah Kakaknya itu hilang kabar. Ditangkap karena diduga memiliki kedekatan dengan organisasi atau institusi yang bernaung di bawah PKI. Hanya Nenek dan kerabat-kerabatnya yang telah sepuh sajalah yang tak ditangkap. Namun meski tak ditangkap, hidup para orang tua sepuh itu pun tetap saja jauh dari kata tenang. Lantaran pikiran mereka yang tak henti-hentinya gelisah memikirkan nasib anak dan keluarga mereka yang ditangkap lalu tak jelas entah ke mana rimbanya, dan karena militer pun terus-menerus menyatroni dan mengintai tempat tinggal mereka.
 
Mengetahui keadaan keluarganya sangat menyedihkan, di Thailand, Ibu akhirnya memutuskan menunda perkuliahannya. Dan karena keinginannya pulang ke Indonesia pun ditentang, ia lantas terbang ke Eropa begitu mendapat kabar bahwa seorang kawannya kebetulan sedang berada di sana. Tepatnya, di London, Inggris, ia tinggal beberapa bulan dengan kawannya itu. Baru setelah itu ia pindah ke Paris, Perancis, karena mulai merasa tak nyaman lagi dengan Inggris. Beberapa minggu di Paris, tak jauh dari bundaran Place Charles de Gaulle, dengan senyum yang akhirnya merekah cerah di bibirnya, katanya: ia bertemu dengan Ayah, untuk pertama kalinya.    
 
“Awalnya Ibu tak tertarik menjalin hubungan dengan Ayahmu,” kata Ibu, begitu mulai menceritakan kisah kasih mereka padaku. “Tapi karena melihat kegigihannya mengejar Ibu setelah itu, akhirnya Ibu luluh juga.”

Kau tentu tahu bagaimana leganya aku ketika cerita Ibu akhirnya beralih ke soal romantikanya dengan Ayah kita yang memang rupawan itu. Bibir tipis Ibu tersenyum semakin rekah setiap kali mengingat kegilaan dan perjuangan yang dilakukan lelaki berwajah tirus dan berhidung mancung itu. Ibu memang selalu nampak cantik sekali bila tersenyum, persis sepertimu. Kau beruntung mewarisi senyum Ibu yang indah.

Tetapi, kau juga tahu kan, betapa tak sukanya aku dengan cerita roman? Meskipun kisah yang akhirnya kudengarkan dari mulut Ibu itu adalah kisah cinta orang tuaku sendiri, aku tetap merasa geli mendengarnya. Maka lebih baik tak kuperpanjang kisah itu, karena kau pun tentu sudah tahu bagaimana kedua orang tua kita yang malang itu bertemu lalu memutuskan hidup bersama. Aku ingat, kau pernah bertanya soal kisah kasih mereka langsung kepada Ibu dulu. Kau bertanya saat di ruang keluarga yang kebetulan sedang ada aku, yang akhirnya pergi menjauh karena tak sudi mendengarkan kata-kata Ibu yang pasti akan menggelitik pikiranku.

Maka begitulah, awal dari keputusanku pergi. Bertahun-tahun aku hanya hidup sebagai pemimpi dan penahan gelisah di negeri kelahiran kita. Sangat gelisah, menunggu saat yang tepat untuk dapat segera pergi dan menginjakkan kaki di negeri kelahiran kedua orang tua kita ini, setiap waktu. Dan begitu aku menemukan waktunya, ketika akhirnya Ayah pun pergi menyusul Ibu ke surga, sebulan sebelum aku meninggalkan apartemenmu di musim dingin itu, aku merasa tak perlu berpikir-pikir lagi. Lukisan-lukisan Ayah, dan puisi-puisi Ibu, yang tak pernah lepas memuat segala hal yang mereka rindukan dari negeri yang mereka cintai ini, telah cukup membuatku berpikir selama bertahun-tahun. Bahwa aku harus sampai ke sini. Membawa pulang rindu mereka.

Kakakku, aku tahu kau tak pernah lepas memikirkan dan mencemaskanku. Kau selalu mencaritahu kabarku lewat orang yang juga sering kutanyai soal kabarmu, Tuan Barly. Lelaki tambun yang tinggal di sebelah apatermen Ayah dan Ibu. Ketika lelaki itu memberitahuku tentang kau yang akhirnya menikah dengan lelaki yang telah lama menjadi kekasihmu, aku sangat senang mendengarnya. Sangat senang. Tapi, begitu kudengar pula kabar perceraianmu dengan lelaki itu, tiga tahun setelah pernikahan kalian, betapa hancur pula hatiku di sini. Ingin aku menghubungimu saat itu, untuk turut memberimu kekuatan dan ketabahan, tapi entah kenapa, berat betul rasanya melakukannya.

Benarkah, ia meninggalkanmu lantaran kau tidak bisa memberinya keturunan? Kurasa, justru dialah yang tak bisa membuahi rahimmu sehingga ia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya, yang juga pasti kauinginkan.

Tapi, ya, sudahlah. Itu memang tak perlu diingat lagi. Kurasa kau pun pasti bisa segera bangkit dari kesedihan itu, karena aku tahu kau perempuan kuat, seperti Ibu. Dan apalagi, saat kau mendengar kabar pernikahanku tiga tahun setelah berita kesedihanmu itu, kau pasti senang, bukan? Tuan Barly bilang: kau sampai meneteskan air mata karena saking terharunya mendengar kabar pernikahanku.

Aku menikahi seorang perempuan yang memiliki mata bulat nan indah seperti Ibu, seperti kau juga. Ia adalah perempuan yang pertama kali kukenal setelah beberapa minggu aku menginjakkan kaki di negeri ini, di tahun 1999. Aku beruntung, karena pada saat perkenalan kami, ia tanpa ragu mengajakku ikut bergabung berkegiatan dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang hukum, tempatnya mengabdi. Ia tak peduli bahwa aku masih penduduk beridentitas asing dan anak dari sepasang suami istri yang juga tertuduh sebagai antek PKI yang melarikan diri. Ya, begitulah julukan untuk Ayah dan Ibu kita yang kudapatkan dari mulut beberapa orang begitu sampai di sini waktu itu. Tapi, itu tidak masalah. Karena penguasa yang menghadang kepulangan Ayah dan Ibu telah jatuh dari tahtanya setahun sebelum aku menginjakkan kakiku di negeri ini. Jadi, aku tak mendapatkan bahaya seperti yang kaucemaskan.

Maka begitulah, karena jadi seringnya aku bertemu dengan perempuan itu, karena kami bekerja di kantor yang sama, aku jatuh cinta padanya. Syukur, ia pun ternyata cinta padaku. Kami berpacaran tak terlalu lama, dan akhirnya kuputuskan menikahinya tujuh tahun kemudian.

Namun sayang, takdir ternyata tak menginginkan kami menjadi tua bersama. Ia meninggal karena penyakit yang dideritanya saat sepuluh tahun usia pernikahan kami. Jika benar surat ini telah sampai ke tanganmu, berarti kau telah melihat sosok gadis tiga belas tahun yang mewarisi sepenuhnya keindahan yang dimiliki almarhumah istriku itu. Ya, gadis itu putri kami, anak kami satu-satunya. Ia telah lama sekali ingin pergi ke Paris. Ia selalu merengek-rengek padaku dan beralasan ingin menemuimu. Tapi, aku baru bisa membiarkannya pergi, hari ini. Setelah akhirnya aku pun harus pergi menyusul Ibu, Ayah, dan Adik Iparmu, ke surga. Karena sakit yang kuderita beberapa tahun belakangan ini.

Maafkan aku, Kakakku. Telah membuatmu kembali bersedih. Dan aku sangat berterima kasih, karena kau telah memberiku perhatian lebih sejak kepergian Ibu. Aku tak pernah melupakan itu. Jika kau tak keberatan—aku yakin kau pasti takkan keberatan—aku titipkan gadis cantikku itu padamu. Ia tak punya keluarga dekat di sini, karena almarhumah Ibunya pun adalah anak semata wayang mertuaku yang juga sudah lebih dulu tiada. Jadi, aku mohon, sayangilah ia. Ia akan dengan senang hati mengantar dan menemanimu datang ke pusaraku jika kau rindu padaku. Tidak apa-apa, datanglah. Takkan ada bahaya seperti yang kaucemaskan dulu akan menyambutmu di sini. Sebab darahmu, darah kita, darah Indonesia juga.

Rantauprapat, Februari 2019.
Lokasi: Indonesia Rantauprapat, North Rantau, Labuhan Batu Regency, North Sumatra, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar