Kafe Kampong. Tempat acara bedah buku Detak Surga dilaksanakan |
"What?"
Pertanyaan sekaligus pernyataan (permintaan) itu spontan membuatku terkejut, sekaligus tak percaya juga. Aku? Membedah buku? Are you serious?!
Seorang lelaki yang baru kukenal berminggu-minggu yang lalu mengirimkan pertanyaan dan pernyataan itu ke WhatsApp-ku. Ia adalah ketua Forum Masyarakat Literasi di kota kelahiranku, Rantauprapat. Bang Jumain, namanya.
Jumain Hasibuan, Ketua Forum Masyarakat Literasi Labuhanbatu |
Drs. H. Sarimpunan Ritonga. Kepala Dinas Pendidikan Labuhanbatu |
Namun begitu aku tak menolak permintaannya itu. Karena kupikir, itu adalah peluang besar untukku. Ya, peluang untuk menunjukkan pada khalayak ramai di kotaku, kalau aku pun menulis. Telah menerbitkan satu buku.
Jam dua siang, tanggal 10 Nopember, kemarin, acara itupun dimulai. Aku datang dijemput salah seorang temanku sejak SD dulu (Bibot, si Bassis beken) dan seorang temannya.
Acara diawali dengan pemberian sambutan dari Kepala Dinas Perpustakaan, Ketua FML, dan Kepala Dinas Pendidikan selaku ayah dari Penulis (Anggie Yolanda) buku yang akan dibedah, Detak Surga. Lalu pemberian buku kepada ketua dan pengurus organisasi-organisasi dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diundang. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh seorang penyair Rantauprapat.
Bersama kawanku, Bibot |
Eiwan Budi Kuswara. Perwakilan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Labuhanbatu |
Penyair yang membacakan puisi, tentang Ibu |
Aku benar-benar gugup setengah hidup, setelah kemudian pembawa acara memanggil namaku dan pak Tatang, untuk maju ke depan. Duduk di tempat yang telah disediakan. Saking gugupnya, langkahku bahkan jadi tak beres ketika menuju tempat yang dipersilakan untuk kami berdua. Beberapa kali aku jadi tak sengaja menginjak kakiku sendiri ketika berjalan. Ah, kacaulah...
Para undangan yang hadir dari berbagai instansi dan organisasi |
Aku, Pak Tatang Pohan, dan Abang Pembawa Acara |
Dan sebenarnya, aku gugup bukan karena akan bicara di depan banyak orang. Aku sudah pernah mengalami itu sebelumnya. Beberapa kali. Ketika bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), di Semarang dulu. Yang membuatku gugup hari itu adalah, aku harus mengomentari dan mengkritisi karya orang lain. Pengetahuanku yang sedikit tentang sastra, membuatku merasa belum cukup yakin melakukan itu. Apalagi di hadapan banyak orang. Aku merasa belum cukup pantas.
Tapi kemudian aku teringat perkataan salah seorang seniorku di LBH dulu: "jika tak ada pengalaman pertama, maka tak ada pengalaman kedua, ketiga, dan seterusnya."
Kata-kata itu tertanam dalam di benakku. Kalau saja gugup berhasil menguasaiku, dan membuatku jadi pecundang, lalu menolak tawaran itu hari itu, mungkin saja kesempatan baik selanjutnya, kupikir akan sulit menghampiriku. Bisa jadi malah tak ada lagi. Aku pasti akan menyesal sekali jika melewatkannya.
Pengalaman pertama pasti akan ada saja salahnya. Orang-orang bilang, "itu wajar." Dari situ setiap orang akan belajar bagaimana memperbaikinya, hingga kesempatan-kesempatan selanjutnya jadi kecil kemungkinan ia kembali melakukan kesalahan, karena sudah terbiasa dan menjadi ahli.
Pemikiran itu jugalah yang membuatku mantap menerima tawaran itu hari itu. "Oke, kucoba!"
Di depan para tamu undangan (kepala-kepala sekolah, guru-guru, pejabat-pejabat pemerintah dari beberapa instansi, para pegiat literasi, dan para mahasiswa), aku berusaha berbicara sebaik mungkin. Menyampaikan hasil bedahanku sejelas mungkin. Aku terus berusaha mengalihkan gugupku agar aku bisa bicara dengan jelas.
Aku punya cara paling mutakhir agar tidak gelagapan bicara di depan publik. Yaitu dengan menatap dalam mata orang yang memperhatikanku dengan seksama. Orang yang tetap menjaga fokusnya padaku ketika aku bicara. Karena orang yang begitu adalah orang yang bisa memberitahu apakah kata-kataku dapat dipahami atau tidak.
Jika orang yang fokus menatapku itu berekspresi bingung, maka artinya kata-kataku belum cukup jelas. Berarti aku harus memperbaikinya, mengulanginya dengan kata-kata yang kuanggap harus lebih mudah dipahami. Meski makna dan maksudnya sama dengan kata-kata sebelumnya. Tetap harus kuulang. Pengulangan itu tak lain bertujuan untuk tetap menjaga fokusnya padaku. Karena ketika ia sudah merasa bingung, dan merasa tak mendapat penjelasan (karena tidak kuulangi), bisa jadi ia akan berhenti memperhatikanku. Bagiku, itu bahaya. Karena sampai akhir aku bicara ia bisa-bisa tidak memperhatikanku lagi.
Membalas tatapan orang yang memperhatikanku ketika berbicara di forum atau acara seperti itu kuanggap sebagai wujud apresiasiku karena ia telah mau memperhatikanku dengan baik.
Aku tidak akan peduli pada orang yang tidak memperhatikanku. Karena jika kupedulikan mereka akan membuat buyar pikiranku. Membuat gugupku semakin merajalela.
Saat penyerahan buku kepada perwakilan organisasi-organisasi |
Aku senang bisa menjadi bagian dari acara itu. Aku tak hanya mendapat pengalaman baru, tapi semangat menulisku juga semakin bertumbuh. Acara itu benar-benar menunjukkan bahwa penulis pun ternyata mendapat perhatian dari masyarakat Rantauprapat. Aku senang sekali.
Dengan begitu, aku semakin yakin untuk terus mewujudkan mimpi besarku di kota kelahiranku ini. Semoga Tuhan selalu merestui jalannya. Aamiin…
0 komentar:
Posting Komentar