Jika mengingat saat-saat
kebersamaan kita dulu, rasanya seperti belum lama jarak merentangkan kita
hingga sejauh ini. Namun, jika mengingat silam tahun yang membawaku pergi, segera
aku tersadar bahwa betapa waktu telah memisahkan kita begitu lama. Dan, sungguh
berdosanya aku, karena tak pernah sekali pun memberi kabar kepadamu. Bahkan
menghubungimu untuk menyampaikan sepatah-dua patah kata pun, tidak. Padahal
sebenarnya, sangat besar keinginanku bisa mendengar lagi suaramu.
Aku merindukanmu, itu
sudah pasti. Namun bukan itu alasanku menulis surat ini. Aku hanya sangat ingin
mengatakan tentang hal-hal yang selalu ingin kukatakan padamu sejak dulu, yang
tak pernah bisa kukatakan karena kekhawatiran-kekhawatiran yang kerap
mengusikku. Perihal-perihal itu, andai saja aku berhasil mengatakannya sebelum
akhirnya kutinggalkan perdebatan panas kita di meja dapur apartemenmu waktu itu,
untuk kemudian pergi mengikuti anganku, sungguh aku pasti takkan dihantui rasa
bersalah kepadamu. Aku sangat menyesal.
Namun, ya, semuanya
memang sudah berlalu. Tak ada gunanya lagi aku menyesali semua itu. Dan aku
yakin, kau pun pasti telah memaafkanku. Sebab kau adalah kakakku, satu-satunya
saudara dan keluargaku. Kau takkan menyimpan dendam padaku hanya karena
perdebatan kita itu. Namun begitu, biarkan aku menjelaskan alasanku pergi waktu
itu. Agar setidaknya, aku lepas dari rasa bersalah yang menghantui seumur
hidupku.
Barangkali kau masih
ingat, sewaktu kita kecil dulu, di ruang keluarga apartemen orang tua kita yang
hangat, Ibu pernah bercerita tentang sebuah negeri yang ingin sekali ia
kunjungi kepada kita berdua. Sebuah negeri, yang selalu dapat membuatnya
menjatuhkan air mata setiap kali mengingatnya. Ya, Indonesia. Negeri yang
kemudian kau anggap menyimpan sekelumit bahaya untuk kita. Negeri yang akhirnya
kutuju, dan membuatku meninggalkanmu, sendirian di Paris.
Apa kau tahu, ketika
sepasang mata Ibu tiba-tiba menjadi basah saat menceritakan negeri itu saat
pertama kalinya kepada kita itu, aku sebenarnya sudah bisa merasakan bahwa
bukan cuma kerinduan untuk negeri itu saja yang Ibu simpan dalam dadanya. Aku
bisa merasakan gejolak yang begitu hebat ketika Ibu mengecup ubun-ubun kita
bergantian setelah mengakhiri ceritanya. Dan gejolak itu, meskipun ia tutupi
karena mengingat usia kita yang memang belum pantas untuk tahu apa penyebabnya,
telah membuatku begitu bertekad ingin membawa Ibu ke negeri itu suatu hari nanti.
Aku lantas menyampaikan
keinginanku itu pada Ibu beberapa bulan kemudian. Suatu pagi, ketika kau belum
pulang dari sekolah, juga di ruang keluarga kita itu, yang kebetulan sedang ada
Ayah menonton drama kesayangannya di TV: Arsene
Lupin, aku berkata pada Ibu yang tengah sibuk dengan kertas-kertas dan
pena: “Bu, aku akan membawa Ibu ke Indonesia jika aku besar nanti. Ibu tunggu
saja.”
Apa
kau tahu apa yang terjadi setelah aku mengatakan itu? Ayah dan Ibu sontak
menatapku dengan mata terbelalak, dan mereka kemudian saling pandang sekejap
seperti dua orang yang mendadak mendapat kejutan yang tak disangka-sangka. Ayah
yang merasa bingung dan segera membatin bahwa Ibulah yang telah membuatku tahu
nama negeri itu, kemudian menuntut pertanggungjawaban Ibu.
Kata Ayah dengan nada
suara yang terdengar jelas menahan kesal, “kau bilang apa saja pada bocah
lelaki kecilku ini? Mengapa dia bicara soal Indonesia?”
Namun bukannya menjawab
jujur, Ibu malah tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala, seolah menolak tanggung
jawab yang dituntutkan Ayah padanya.
Ayah yang melihatku menantikan
jawaban Ibu pun mau tak mau jadi harus menyudahi kesenangannya—berhenti
menonton drama yang diadaptasi dari novel karya Maurice Leblanc itu—lalu membawaku
ke ruang lukisnya yang jarang sekali bisa kita masuki. Di sana, ia menarikku mendekati
meja yang kemudian ia bentangkan selembar kertas nan lebar di atasnya. “Ini
adalah peta dunia,” katanya padaku yang memang belum mengenal nama kertas lebar
itu dulu. “Di sini, seluruh negeri yang ada di dunia, bisa kita lihat di mana
letaknya.”
Tentu
aku jadi tahu letak dan bentuk pulau-pulau negara Indonesia setelah melihat
peta itu. Tapi karena tak bisa membayangkan seberapa jauhnya negeri itu dari Perancis,
negara kelahiran kita, maka Ayah pun menjelaskan padaku, bahwa jika ingin
sampai ke sana, butuh waktu berhari-hari bila menumpang kapal, dan butuh uang
yang banyak bila menumpang pesawat.
Kau tahu, apa yang
kupikirkan begitu mendengar penjelasan Ayah itu? Ya, nampaknya aku harus jadi
lelaki kaya terlebih dahulu, agar bisa sampai ke negeri itu dengan cepat dan mudah.
Tetapi, bukan itu
sebenarnya yang menjadi kejutan bagiku waktu itu. Melainkan mengetahui bahwa
Ayah dan Ibu takkan bisa lagi kembali ke negeri itu. Ya, negeri yang ternyata
adalah negeri kelahiran mereka. Bisakah kaubayangkan, bagaimana jerinya hati
anak yang baru berusia enam tahun, terpaksa harus mendengar tragedi memilukan
yang menimpa kedua orang tuanya, yang mana tragedi itulah menjadi penyebab
mereka tak bisa kembali ke negeri itu, langsung dari mulut Ayahnya sendiri? Aku
sampai mimpi buruk beberapa malam setelah mendengar itu.
Aku
tahu bahwa kau pun sudah tahu mengenai tragedi itu. Namun begitu, perkenankan
aku mengisahkannya kembali dalam surat ini. Semata-mata hanya untuk
mengungkapkan gelisah yang kurasakan sejak tragedi itu kuketahui, dan membuatku
akhirnya pergi meninggalkanmu dulu.
Jujur saja. Mulanya,
aku merasa tragedi yang merundung orang tua kita itu tak ubahnya dongeng belaka.
Ayah yang menceritakannya dengan gayanya yang sangat ekspresif, sungguh membuatku
terpana jadinya dengan cerita itu, sehingga hampir lupa aku bahwa tragedi itu
memang sungguh nyata.
Kata Ayah dalam
ceritanya itu: ada tujuh orang jenderal dibunuh di sebuah tempat bernama Lubang
Buaya. Aku masih ingat sekali bagaimana sepasang mata Ayah menerawang kenangan pahit
yang ia alami setelah tragedi pembunuhan para jenderal itu, sepanjang ia menceritakannya.
Ia melanjutkan: ada sebuah kelompok—waktu itu, Ayah tak menyebutnya “Partai”
karena mengira aku pasti takkan mengerti dengan kata itu—yang bernama PKI,
dituduh sebagai pelaku pembunuhan para jenderal itu. Sehingga orang-orang yang
diduga turut menjadi bagian dari kelompok itu, akhirnya diburu hingga ke mana-mana.
Begitu dapat, mereka ditahan, disiksa, bahkan sampai ada yang dibunuh.
Ayah kemudian terlihat
sangat sedih setelah itu, ya, aku masih mengingat raut mukanya. Tapi ia tetap
lanjut mengatakan, bahwa betapa sial jadinya dirinya setelah mencuatnya berita
kematian tujuh Jenderal itu. Sebab ia yang hanya seorang pelukis dan tak paham
sedikit pun soal politik dan ideologi yang hendak ditumpas aparat yang kemudian
jadi murka, turut pula diburu, karena kebetulan ia memang tergabung dalam salah
satu organisasi yang juga berada dalam kendali PKI waktu itu. Maka demi
menghindari perburuan, ia pun memutuskan lari dari kotanya hingga ke beberapa
kota di pulau Sumatera dan Kalimantan. Lalu, ketika mendapat celah untuk keluar
dari Indonesia, ia terbang ke Belanda untuk menetap di sana hingga beberapa
bulan.
Dari Belanda, barulah Ayah
berpindah ke Paris, Perancis. Alih-alih ingin mendapatkan suaka sementara
setelah berpindah dari Negeri Kincir Angin itu, ia ternyata malah menetapkan
hati untuk tinggal selamanya di Paris, lantaran telah jatuh hati pada seorang perempuan
yang ternyata sama nelangsanya dengan dirinya. Ya, kau tahu perempuan itu
adalah Ibu.
Bertahun-tahun
setelah mendengar cerita Ayah di ruang lukis itu, tepatnya ketika telah menginjak
sebelas tahun usiaku, pikiranku akhirnya mulai bisa berpikir kritis. Kau tahu?
Aku memikirkan lagi cerita Ayah di ruang lukisnya itu dengan membuat
penghakiman: bahwa betapa bodoh dan pecundangnya Ayah kita itu.
Kita sama-sama tahu
bahwa ia bukanlah orang yang turut serta membunuh para jenderal itu, dan bukan
pula termasuk penganut ideologi yang ditumpas aparat setelah tragedi pembunuhan
itu. Jangankan menganutnya, kita bahkan tahu betul bahwa ia memang tak mengerti
sedikit pun soal itu. Ia hanya mengerti soal kanvas, cat, dan kuas. Jadi,
kenapa ia harus lari?
Aku akhirnya menanyakan
itu langsung pada Ayah ketika kutemukan satu kesempatan sedang berdua
dengannya. Kau tahu apa jawabannya? Dengan raut muka yang nampak ragu, ia
berkata, “ada saatnya di mana keberanian
dan keyakinanmu terhadap suatu kebenaran lebih baik dikubur dalam-dalam.
Terlebih bila yang dihadapi adalah kesalahpahaman yang sedang mendapatkan
dukungan suara dan gerakan kelompok mayoritas yang sebenarnya tidak paham betul
akar masalahnya, namun terlanjur dibuat berang. Sia-sia saja melawan.”
Jika
kau pernah menanyakan hal yang sama, lalu Ayah menjawab dengan jawaban yang ternyata
juga sama seperti itu, kira-kira apa pendapatmu? Apakah kau akan menganggap
langkah yang Ayah lakukan adalah hal yang benar, atau justru salah? Sungguh aku
ingin sekali sebenarnya mendengar jawabanmu secara langsung.
Namun
sekiranya boleh aku menebak, kukira kau sepertinya akan menjawab: Ayah telah melakukan
hal yang benar. Ya, kau pasti akan mengatakan itu. Benar, kan? Bagaimana
mungkin aku tidak tahu. Mengingat bagaimana bersikerasnya kau ingin
menggagalkan niatku untuk pergi akhirnya ke Indonesia dulu, tentulah kau akan
membenarkan tindakan lelaki jangkung yang tak pernah memarahimu itu.
Lantas, bagaimana
dengan Ibu?
Aku
tak pernah tahu kapan kau mulai tahu derita yang dialami Ibu atas tragedi itu.
Namun jika kau ingin tahu kapan aku mengetahuinya, adalah juga saat usiaku masih
sebelas tahun. Saat pertanyaan tentang pelarian Ayah mengusik pikiranku.
Seperti halnya Ayah,
tuduhan “Komunis” pun melekat pada Ibu, kata Ibu ketika aku mengganggu
kesibukannya di dapur. Dan seperti yang kita tahu, Ibu kita yang berparas
cantik khas perempuan Asia dan berhati lembut itu selalu mudah menjatuhkan air
matanya setiap kali pikirannya terbawa kembali ke kenangan itu. Pipinya sampai kuyup
saat menceritakan kisahnya padaku waktu itu.
Di akhir cerita Ibu,
aku menemukan dua hal yang membedakan pengalaman Ibu dan Ayah atas tragedi itu.
Pertama: Ibu tak lari dari Indonesia, melainkan tak bisa pulang. Kedua: Ibu
cukup paham dengan ideologi ciptaan Karl Marx yang juga akhirnya runtuh di Uni
Soviet itu, tapi tidak menganutnya sebagai landasan pemikiran-pemikirannya.
Pada akhir Juni tahun 1965, Ibu
memutuskan berangkat ke Thailand untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang S2.
Sebelum masuk semester pertama perkuliahan, ia sempat memutuskan kembali
beberapa hari ke Indonesia pada pertengahan bulan Juli untuk mengambil beberapa
barang penting miliknya. “Sekaligus ingin bertemu dengan Nenekmu, Mama Ibu,
yang masih sering sedih karena baru ditinggal mati suaminya (Kakekmu) setahun
sebelumnya. Ibu pulang sekejap agar ia tak tambah sedih,” katanya sambil
menatap lekat mataku, sebagai tambahan alasan kepulangannya ke Indonesia waktu
itu. Namun malang, setelah keberangkatannya kembali ke Thailand, Ibu sungguh
tak pernah bisa kembali lagi ke Indonesia setelah itu. Bahkan ketika Nenek (Ibunya)
akhirnya meninggal dunia karena serangan jantung pada pertengahan Oktober 1965,
Ibu benar-benar tak bisa pulang walau barang sekejap. Karena tepat pada tanggal
30 September 1965—tanggal meledaknya tragedi itu—keluarganya telah melarang
keras ia kembali ke Indonesia.
Keluarga Ibu pun
percaya kalau Ibu bukanlah penganut komunisme. Hanya saja, keluarganya melarang
keras ia kembali, karena ia adalah wartawan di salah satu media yang loyal pada
PKI kala itu. Sebagaimana kabar penangkapan terduga antek dan simpatisan PKI
yang beredar luas dan beringas saat itu, sudah cukup membuat keluarganya yakin
kalau ia pun akan dianggap sebagai virus berbahaya lantaran pekerjaannya
tersebut.
Aku masih ingat apa
yang dikatakan Ibu sebagai penegasan bahwa dirinya bukanlah orang yang hidup
dalam pemikiran komunis, saat itu. Dengan sedikit tersenyum, ia mengatakan, “hanya karena kau tinggal satu atap dengan
sekelompok Muslim, Katholik, Buddha, Hindu, atau Yahudi; bukan berarti kau juga
pasti memeluk agama yang sama, kan?!”
Sungguh, Aku melihat jelas
bara yang marak di mata Ibu setelah mengatakan itu. Bara yang kuduga marak
karena mengingat Kakaknya yang hilang kabar tiga minggu setelah berita kematian
para jenderal di lubang buaya itu. Kakaknya tersebut, adalah lelaki kedua yang
ia sayangi setelah Ayahnya, karena satu-satunya saudara yang ia punya. Katanya:
tak ada seorang pun keluarganya yang mengetahui kabar Kakaknya tersebut, bahkan
hingga kini.
Tak hanya Kakaknya, beberapa
sanak saudara mereka pun ikut ditangkap sebulan setelah Kakaknya itu hilang
kabar. Ditangkap karena diduga memiliki kedekatan dengan organisasi atau
institusi yang bernaung di bawah PKI. Hanya Nenek dan kerabat-kerabatnya yang
telah sepuh sajalah yang tak ditangkap. Namun meski tak ditangkap, hidup para
orang tua sepuh itu pun tetap saja jauh dari kata tenang. Lantaran pikiran
mereka yang tak henti-hentinya gelisah memikirkan nasib anak dan keluarga
mereka yang ditangkap lalu tak jelas entah ke mana rimbanya, dan karena militer
pun terus-menerus menyatroni dan mengintai tempat tinggal mereka.
Mengetahui
keadaan keluarganya sangat menyedihkan, di Thailand, Ibu akhirnya memutuskan
menunda perkuliahannya. Dan karena keinginannya pulang ke Indonesia pun
ditentang, ia lantas terbang ke Eropa begitu mendapat kabar bahwa seorang
kawannya kebetulan sedang berada di sana. Tepatnya, di London, Inggris, ia
tinggal beberapa bulan dengan kawannya itu. Baru setelah itu ia pindah ke
Paris, Perancis, karena mulai merasa tak nyaman lagi dengan Inggris. Beberapa
minggu di Paris, tak jauh dari bundaran Place Charles de Gaulle, dengan senyum
yang akhirnya merekah cerah di bibirnya, katanya: ia bertemu dengan Ayah, untuk
pertama kalinya.
“Awalnya Ibu tak
tertarik menjalin hubungan dengan Ayahmu,” kata Ibu, begitu mulai menceritakan
kisah kasih mereka padaku. “Tapi karena melihat kegigihannya mengejar Ibu
setelah itu, akhirnya Ibu luluh juga.”
Kau
tentu tahu bagaimana leganya aku ketika cerita Ibu akhirnya beralih ke soal
romantikanya dengan Ayah kita yang memang rupawan itu. Bibir tipis Ibu
tersenyum semakin rekah setiap kali mengingat kegilaan dan perjuangan yang dilakukan
lelaki berwajah tirus dan berhidung mancung itu. Ibu memang selalu nampak
cantik sekali bila tersenyum, persis sepertimu. Kau beruntung mewarisi senyum Ibu
yang indah.
Tetapi,
kau juga tahu kan, betapa tak sukanya aku dengan cerita roman? Meskipun kisah
yang akhirnya kudengarkan dari mulut Ibu itu adalah kisah cinta orang tuaku
sendiri, aku tetap merasa geli mendengarnya. Maka lebih baik tak kuperpanjang
kisah itu, karena kau pun tentu sudah tahu bagaimana kedua orang tua kita yang
malang itu bertemu lalu memutuskan hidup bersama. Aku ingat, kau pernah
bertanya soal kisah kasih mereka langsung kepada Ibu dulu. Kau bertanya saat di
ruang keluarga yang kebetulan sedang ada aku, yang akhirnya pergi menjauh
karena tak sudi mendengarkan kata-kata Ibu yang pasti akan menggelitik
pikiranku.
Maka
begitulah, awal dari keputusanku pergi. Bertahun-tahun aku hanya hidup sebagai
pemimpi dan penahan gelisah di negeri kelahiran kita. Sangat gelisah, menunggu
saat yang tepat untuk dapat segera pergi dan menginjakkan kaki di negeri
kelahiran kedua orang tua kita ini, setiap waktu. Dan begitu aku menemukan
waktunya, ketika akhirnya Ayah pun pergi menyusul Ibu ke surga, sebulan sebelum
aku meninggalkan apartemenmu di musim dingin itu, aku merasa tak perlu berpikir-pikir
lagi. Lukisan-lukisan Ayah, dan puisi-puisi Ibu, yang tak pernah lepas memuat segala
hal yang mereka rindukan dari negeri yang mereka cintai ini, telah cukup
membuatku berpikir selama bertahun-tahun. Bahwa aku harus sampai ke sini.
Membawa pulang rindu mereka.
Kakakku,
aku tahu kau tak pernah lepas memikirkan dan mencemaskanku. Kau selalu
mencaritahu kabarku lewat orang yang juga sering kutanyai soal kabarmu, Tuan
Barly. Lelaki tambun yang tinggal di sebelah apatermen Ayah dan Ibu. Ketika lelaki
itu memberitahuku tentang kau yang akhirnya menikah dengan lelaki yang telah
lama menjadi kekasihmu, aku sangat senang mendengarnya. Sangat senang. Tapi, begitu
kudengar pula kabar perceraianmu dengan lelaki itu, tiga tahun setelah
pernikahan kalian, betapa hancur pula hatiku di sini. Ingin aku menghubungimu
saat itu, untuk turut memberimu kekuatan dan ketabahan, tapi entah kenapa,
berat betul rasanya melakukannya.
Benarkah,
ia meninggalkanmu lantaran kau tidak bisa memberinya keturunan? Kurasa, justru
dialah yang tak bisa membuahi rahimmu sehingga ia tidak bisa mendapatkan apa
yang diinginkannya, yang juga pasti kauinginkan.
Tapi, ya, sudahlah. Itu
memang tak perlu diingat lagi. Kurasa kau pun pasti bisa segera bangkit dari
kesedihan itu, karena aku tahu kau perempuan kuat, seperti Ibu. Dan apalagi,
saat kau mendengar kabar pernikahanku tiga tahun setelah berita kesedihanmu itu,
kau pasti senang, bukan? Tuan Barly bilang: kau sampai meneteskan air mata
karena saking terharunya mendengar kabar pernikahanku.
Aku
menikahi seorang perempuan yang memiliki mata bulat nan indah seperti Ibu,
seperti kau juga. Ia adalah perempuan yang pertama kali kukenal setelah
beberapa minggu aku menginjakkan kaki di negeri ini, di tahun 1999. Aku beruntung,
karena pada saat perkenalan kami, ia tanpa ragu mengajakku ikut bergabung
berkegiatan dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang hukum,
tempatnya mengabdi. Ia tak peduli bahwa aku masih penduduk beridentitas asing
dan anak dari sepasang suami istri yang juga tertuduh sebagai antek PKI yang
melarikan diri. Ya, begitulah julukan untuk Ayah dan Ibu kita yang kudapatkan
dari mulut beberapa orang begitu sampai di sini waktu itu. Tapi, itu tidak
masalah. Karena penguasa yang menghadang kepulangan Ayah dan Ibu telah jatuh
dari tahtanya setahun sebelum aku menginjakkan kakiku di negeri ini. Jadi, aku
tak mendapatkan bahaya seperti yang kaucemaskan.
Maka begitulah, karena
jadi seringnya aku bertemu dengan perempuan itu, karena kami bekerja di kantor
yang sama, aku jatuh cinta padanya. Syukur, ia pun ternyata cinta padaku. Kami berpacaran
tak terlalu lama, dan akhirnya kuputuskan menikahinya tujuh tahun kemudian.
Namun
sayang, takdir ternyata tak menginginkan kami menjadi tua bersama. Ia meninggal
karena penyakit yang dideritanya saat sepuluh tahun usia pernikahan kami. Jika benar
surat ini telah sampai ke tanganmu, berarti kau telah melihat sosok gadis tiga
belas tahun yang mewarisi sepenuhnya keindahan yang dimiliki almarhumah istriku
itu. Ya, gadis itu putri kami, anak kami satu-satunya. Ia telah lama sekali
ingin pergi ke Paris. Ia selalu merengek-rengek padaku dan beralasan ingin
menemuimu. Tapi, aku baru bisa membiarkannya pergi, hari ini. Setelah akhirnya
aku pun harus pergi menyusul Ibu, Ayah, dan Adik Iparmu, ke surga. Karena sakit
yang kuderita beberapa tahun belakangan ini.
Maafkan
aku, Kakakku. Telah membuatmu kembali bersedih. Dan aku sangat berterima kasih,
karena kau telah memberiku perhatian lebih sejak kepergian Ibu. Aku tak pernah
melupakan itu. Jika kau tak keberatan—aku yakin kau pasti takkan keberatan—aku
titipkan gadis cantikku itu padamu. Ia tak punya keluarga dekat di sini, karena
almarhumah Ibunya pun adalah anak semata wayang mertuaku yang juga sudah lebih
dulu tiada. Jadi, aku mohon, sayangilah ia. Ia akan dengan senang hati
mengantar dan menemanimu datang ke pusaraku jika kau rindu padaku. Tidak
apa-apa, datanglah. Takkan ada bahaya seperti yang kaucemaskan dulu akan
menyambutmu di sini. Sebab darahmu, darah kita, darah Indonesia juga.
Rantauprapat,
Februari 2019.