Minggu, 28 Agustus 2016

Cerpen: Terimakasih Tohir Dan Muji

Sumber Gambar: Supriyadikaranganyar.wordpress.com

Matahari masih berada di titik lima belas derajat sebelah Timur. Pagi yang cerah menyelimuti seluruh kota. Panas yang terasa masih cukup sehat untuk diserap tubuh. Tapi tidak benar-benar menyehatkan bagi Tohir dan seorang temannya.
Rabu pagi. Ini sudah memasuki bulan ketiga Tohir bersekolah di sekolah barunya. Dengan sangat bangga, dia lulus tes tertulis masuk salah satu SMP Negeri yang ada di kota itu. Kota kelahirannya. Sebuah kota kabupaten yang ada di pulau Sumatera.

Senam pagi baru saja selesai di laksanakan. Semua murid sudah memasuki kelasnya masing-masing. Halaman dan lapangan sekolah tampak lengang. Para guru juga sudah mulai melaksanakan tugasnya masing-masing. 

Senam pagi adalah kegiatan rutin yang dilaksanakan sebelum memasuki kelas dan memulai pembelajaran. Dilaksanakan setiap hari selasa hingga sabtu. Senin adalah hari khusus pelaksanaan upacara bendera. Tak ada yang tahu, apakah semua sekolah yang ada di kota itu atau di negeri ini, juga melaksanakan kegiatan rutin seperti itu. Dan entah mengapa, para murid yang sudah berseragam rapih dan bersih malah harus melaksanakan senam. Keringat dan lelah pastilah menyelimuti seluruh tubuh mereka.

“Pasti selalu ada hukuman untuk murid yang terlambat masuk kelas dan yang tidak masuk sekolah tanpa kabar”, Tohir berseru kesal. 

“Terus, kenapa???”, Teman semejanya menyaut. Dia adalah Muji. Tohir baru mengenal Muji di sekolah itu. Kebetulan, mereka menjadi teman sekelas. Dan kebetulan juga mereka mendapatkan meja yang sama. Meja yang dihindari semua murid saat itu. Meja terdepan. Satu-satunya meja yang tersisa saat hari pertama masuk sekolah.

“Harusnya guru juga begitu. Mereka juga harus mendapatkan hukuman jika melakukan hal yang sama. Ini tak adil namanya”. Muji menoleh dan memutar badannya ke kiri. Melepaskan kesibukannya yang sedari tadi asik menggambar-gambar buku tulisnya. Dia menatap Tohir yang nampak lesu. Sedang menopang kepalanya dengan tangan di atas meja.

“Heehh… Kau itu anak siapa? Apa kau berani menuntut keadilan? Apa kau berani menghukum mereka para orang tua? Sudahlah, kerjamu menghayal terus dari tadi. Omonganmu terbang kemana-mana. Kalau pelajaran kosong begini kan bagus. Kita bisa melakukan apa saja”. 

Pagi itu, kelas Tohir dan Muji harusnya diisi kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia. Sudah hampir setengah jam sang guru tidak juga masuk ke kelas mereka. Sang ketua kelas yang harusnya melaporkan hal itu kepada guru yang bertugas di ruang piket malah urung melakukannya. Para murid yang lainnya menahannya agar tak keluar kelas.

“Aku bosan. Bingung mau melakukan apa”. Tohir berseru lagi. 

“Kalau begitu kau berhenti saja sekolah. Cari kerja, lalu menikah”. Muji lanjut menggambar buku tulisnya.

“Gila.. Aku bukan bosan sekolah. Aku hanya bosan dengan hari ini”.

“Biasanya kau senang mengganggu si Wiwit ke mejanya. Kenapa tak kau lakukan saja lagi. Menghilangkan bosanmu”.

Tohir mengubah pandangannya pada murid perempuan itu. Wiwit. Berada sekitar tiga meter jarak duduknya dari posisi meja Tohir dan Muji. “Enggak. Aku sedang tidak mau cedera hari ini. Setiap kali aku menghampirinya, dia berubah menjadi Singa. Mencakar habis tubuhku yang dapat diraihnya. Kemarin, saku bajuku robek dibuatnya”.

“Hahaha.. Hey Tohir. Wajar saja dia begitu. Yang kau lakukan hampir setiap hari hanya membuatnya risih dan marah. Kalau kau suka padanya harusnya tak begitu”. Muji tertawa geli. Dia menutup buku tulisnya dan memutar lagi badannya menghadap Tohir.

“Hey.. Umurmu sudah berapa tahun memangnya? Lagakmu seperti lebih tua saja. Sok tahu segalanya”. Tohir menyaut ketus. Dia masih bertingkah lesu.

“Santai boss..”. Muji masih tertawa. “Apa mau kutunjukkan caranya merayu wanita?”. Muji menggerakkan alis matanya naik turun. Menggoda Tohir yang murung.

“Mau enggak?”. Muji bertanya tegas. 

“Gimana?”.

Suasana kelas mulai tampak ricuh dan terdengar berisik. Para murid bertingkah macam-macam. Seperti sedang pesta perayaan. Mereka merayakan ketidakhadiran sang guru dengan meriah.

Muji memutar lagi posisi badannya. Kali ini dia menghadap ke meja yang ada di belakangnya. Di meja itu ada dua orang murid wanita yang menempatinya. Muji menghadap pada murid wanita yang berada tepat dibelakangnya. 

“Eva..!”. Muji memanggil lembut nama murid wanita itu. Tohir sedang memperhatikan.

“Eva lagi ngapain itu dek?”. Muji masih bertingkah lembut. Kasihan, Eva tak membalas kelembutan Muji. Eva memasang raut wajah jijiknya. Tohir tertawa.

“Diamlah, Muji. Wajahmu itu bikin aku geli”, Eva menyaut ketus.

“Hey, kau malah menghina wajahku. Apa kau pikir wajahmu rupawan?”. Muji membalas kesal.

“Sudah.. Sudah.. Kau gagal Muji. Coba lain kali saja”. Tohir berusaha menenangkan. Sambil tertawa dia memutar tubuh Muji agar kembali menghadap ke depan. Meninggalkan Eva yang tampaknya semakin jijik. 

Muji gagal dengan percontohannya. Tapi dia berhasil dengan satu hal. Mengubah raut wajah murung Tohir menjadi ceria. Tohir masih menertawakan kesombongan dan kegagalan Muji. Muji hanya diam dan mengambil lagi buku tulis yang tadinya dia buat untuk menggambar dari laci meja. Dia menggambar lagi.

“Kau boleh berhenti tertawa kalau sudah tidak lucu. Jangan berusaha mengejekku”. Muji mencoba menghentikan tawa Tohir.

“Oke boss.. Aku berhenti”. Tohir mengelus-elus punggung Muji. Mereka diam sejenak.

“Hey, Muji. Beberapa hari ini ada saja murid wanita dari kelas sebelah yang memanggil-manggilku dari jendela kelas mereka. Setelah itu mereka menyembunyikan wajahnya di balik tembok kelasnya. Terkadang mereka menggodaku. Aku tak menghiraukannya”. Tohir tiba-tiba berseru.

“Tohir, kau ini janganlah sok ganteng. Mungkin saja mereka bukan menujukannya padamu. Mungkin pada orang yang ada di dekatmu. Atau mungkin saja aku”. 

“Kalau itu tertuju padamu aku tidak percaya. Wajahku lebih baik dari pada wajahmu. Mereka tidak mungkin salah melihat, Muji”. Tohir kembali tertawa.  

“Sial, kau ini sama saja dengan wanita gila yang di belakangku”.

“Hey, Muji. Aku mendengar omonganmu”. Eva menyaut keras dari belakang.

“Aku tak peduli”. Muji menjawab kesal.

“Aku jadi khawatir akan ada baku hantam setelah ini”. Tohir menyela dengan sedikit tawa.

“Jangan bodoh Tohir. Aku tak mungkin melawan wanita”.

“Apa kau pikir aku takut padamu, Muji?”. Eva kembali menyaut. Dia mendengar perkataan Muji. Wanita yang satu ini memang murid wanita yang sangat tomboy di kelas mereka. Tampaknya Muji memang salah telah menggodanya.

“Mungkin, khusus untuk wanita yang di belakangku ini, aku buat pengecualian. Akan kuhajar dia kalau sekali lagi menyautku”. Muji mengucap pelan pada Tohir. Dia mulai terlihat marah. 

“Hahaha.. Tenanglah. Kalau begitu kita lebih baik menjauh darinya. Ayo kita keluar kelas. Sekalian, kita buktikan omonganku”. Tohir menarik tubuh Muji agar berdiri dan berjalan meninggalkan meja mereka. Mereka menuju pintu. Keluar kelas.

Tohir dan Muji berdiri berdua di depan pintu kelas. Pandangan mereka sama-sama tertuju pada sebuah jendela kelas yang berada tepat di sebelah kelas mereka. Itu adalah ruangan kelas dua.

Mereka mengangkat kepala dan memanjangkan leher. Berusaha melihat wajah wanita yang duduk di sebelah jendela kelas itu. Tak ada satu pun murid wanita yang duduk di sebelah jendela.

“Aku rasa kau mengigau beberapa hari ini Tohir. Mana mungkin kakak kelas menggoda anak bawang sepertimu. Dan lihat, tak ada murid wanita yang duduk di sebelah jendela”.

“Kalau aku anak bawang, kau anak apa? Anak ketumbar?”. Tohir berhenti melihat. Tohir jongkok dan bersandar di pilar penyangga bangunan atap kelasnya. “Mungkin bukan sekarang waktunya. Aku selalu mendengar panggilan mereka ketika jam istirahat”. 

Tohir dan Muji lantas asyik mengobrol di depan kelas. Tohir masih pada posisinya, dan Muji duduk di depan Tohir. Menghadap arah yang berbeda. Halaman depan sekolah terpampang luas di depan mereka.

Jam pelajaran Bahasa Indonesia yang kosong harusnya terlaksana selama dua jam mata pelajaran. Masih tersisa waktu satu jam lebih untuk menunggu waktu istirahat pertama tiba.

“Hey, kalian, kemari..!”. Tiba-tiba, suara seorang pria tua terdengar keras memanggil. Tohir dan Muji terlihat gugup dan bingung. Sadar sedang melakukan kesalahan. Mereka perlahan berdiri sambil terus melihat ke arah suara itu. Rasa takut membuat mereka melangkah pelan dan saling dorong.

“Cepat sedikit..!”. Pria tua itu berteriak lagi. Membuat Tohir dan Muji mempercepat langkahnya.

Tohir dan Muji sudah berdiri di hadapan si pria tua. Dia adalah salah seorang guru yang kebetulan bertugas menjaga ruangan piket. Pria tua itu diam sejenak sambil menatap Tohir dan Muji yang berdiri sambil menundukkan kepala di hadapannya.
“Sedang apa kalian berdua di luar itu? Kenapa tidak di dalam kelas? Inikan masih jam pelajaran”. 

“Emm.. Emm.. Membersihkan sampah pak!”. Tohir menjawab pelan. Tubuhnya sedikit bergetar ketakutan. Dia khawatir si pria tua itu akan menghukum mereka.
“Apa guru kalian tak ada?”. Tohir dan Muji mengangguk. “Kalau begitu bagus. Mari ikut saya..”.

Mereka berjalan mengikuti langkah si pria tua. Di belakangnya. Keduanya saling pukul dan menjitak. Mereka saling menyalahkan. Tohir dan Muji menebak-nebak akan dibawa kemana mereka. 

Dan sampailah mereka. “Ini, silakan dipegang dulu. Masing-masing pegang satu”. Muji menatap bingung. Matanya berpindah-pindah, dari wajah Tohir lompat ke wajah si pria tua. Tohir menerima dengan pasrah benda yang diberikan si pria tua itu padanya. Dia menebak sesuatu di pikirannya.

Tohir dan Muji berdiri bersebelahan di depan pintu gudang sekolah. Mengarah kedalamnya, dan menerima sapu ijuk/lidi dan sekop sampah dari si pria tua yang berada di dalam. 

“Saya tahu, kalian berdua adalah anak yang rajin. Saya minta kalian bersihkan sampah dedaunan pohon-pohon yang ada di pinggir lapangan. Silakan berhenti jika bel jam istirahat berbunyi”. Pria tua itu menutup perintahnya dengan tersenyum. Itu bukanlah senyum yang ramah. Jawaban Tohir 'membersihkan sampah' nampaknya menambah masalah bagi mereka berdua.

“Oh, Tuhan. Seenaknya saja orangtua itu. Kau lihat Tohir, luasnya lapangan ini seratus kali lipat luas halaman rumahku. Aku mungkin sudah pingsan duluan sebelum sempat membersihkan seperempatnya”. Muji mengeluh kesal. Mereka berjalan menuju pohon pertama di sisi timur.

“Kenapa kau mengeluh padaku? Sana, mengeluhlah pada orang tua itu”.

“Ini semua karenamu Tohir. Aku takkan mengalami ini jika tak mengikutimu keluar kelas”. 

“Seenaknya saja kau bicara”. Tohir menyela. 

“Ini juga gara-gara wanita gila itu”. 

Tohir tertawa. “Kau menyalahkan semua orang”.

Sementara Tohir dan Muji melaksanakan tugasnya di lapangan. Di kelas mereka berdua telah masuk seorang guru pengganti. Mengisi kekosongan karena ketidakhadiran sang guru Bahasa Indonesia. Teman-teman di kelas mereka tahu, kalau guru pengganti itu masuk karena ulah Tohir dan Muji. Tapi mereka tidak tahu, kalau keduanya sedang bersusah-susah membersihkan lapangan sekolah.

“ Oh, Tuhan. Kenapa aku harus mengikuti perintah si orang tua itu. Ibuku bahkan tak pernah memintaku menyapu kamarku”. Muji semakin menggerutu. Dia mulai menyapu sampah dedaunan yang berada tepat di bawah pohon.

“Baik sekali ibumu. Ibuku membuatku bisa melakukan segala hal. Terkecuali memasak”.

“Kau memang berbakat jadi pembantu”. Muji tertawa. Tohir melemparnya dengan tumpukan sampah yang telah terkumpul.

“Hey..!! Jangan  bercanda”. Suara pria tua itu berteriak keras ke arah mereka, dari pintu ruang piket.

“Kau tahu Muji, dia mengawasi kita layaknya kita berdua adalah tahanan”.

Pukul 09.40. Bel jam istirahat pertama telah berbunyi. Seragam Tohir dan Muji kuyup oleh keringat. Mereka selesai dengan tugasnya. Lapangan sekolah bersih dari sampah. Tapi, sekolah tak sedikit pun berterimakasih atas kerja keras mereka berdua.

0 komentar:

Posting Komentar