Sumber Gambar: Supriyadikaranganyar.wordpress.com
Matahari
masih berada di titik lima belas derajat sebelah Timur. Pagi yang cerah
menyelimuti seluruh kota. Panas yang terasa masih cukup sehat untuk diserap
tubuh. Tapi tidak benar-benar menyehatkan bagi Tohir dan seorang temannya.
…
Rabu pagi.
Ini sudah memasuki bulan ketiga Tohir bersekolah di sekolah barunya. Dengan
sangat bangga, dia lulus tes tertulis masuk salah satu SMP Negeri yang ada di
kota itu. Kota kelahirannya. Sebuah kota kabupaten yang ada di pulau Sumatera.
Senam pagi
baru saja selesai di laksanakan. Semua murid sudah memasuki kelasnya
masing-masing. Halaman dan lapangan sekolah tampak lengang. Para guru juga
sudah mulai melaksanakan tugasnya masing-masing.
Senam pagi
adalah kegiatan rutin yang dilaksanakan sebelum memasuki kelas dan memulai
pembelajaran. Dilaksanakan setiap hari selasa hingga sabtu. Senin adalah hari
khusus pelaksanaan upacara bendera. Tak ada yang tahu, apakah semua sekolah
yang ada di kota itu atau di negeri ini, juga melaksanakan kegiatan rutin
seperti itu. Dan entah mengapa, para murid yang sudah berseragam rapih dan
bersih malah harus melaksanakan senam. Keringat dan lelah pastilah menyelimuti
seluruh tubuh mereka.
“Pasti
selalu ada hukuman untuk murid yang terlambat masuk kelas dan yang tidak masuk
sekolah tanpa kabar”, Tohir berseru kesal.
“Terus,
kenapa???”, Teman semejanya menyaut. Dia adalah Muji. Tohir baru mengenal
Muji di sekolah itu. Kebetulan, mereka menjadi teman sekelas. Dan kebetulan
juga mereka mendapatkan meja yang sama. Meja yang dihindari semua murid saat
itu. Meja terdepan. Satu-satunya meja yang tersisa saat hari pertama masuk
sekolah.
“Harusnya
guru juga begitu. Mereka juga harus mendapatkan hukuman jika melakukan hal yang
sama. Ini tak adil namanya”. Muji menoleh dan memutar badannya ke kiri. Melepaskan kesibukannya
yang sedari tadi asik menggambar-gambar buku tulisnya. Dia menatap Tohir yang nampak lesu. Sedang menopang kepalanya dengan tangan di atas meja.
“Heehh… Kau
itu anak siapa? Apa kau berani menuntut keadilan? Apa kau berani menghukum
mereka para orang tua? Sudahlah, kerjamu menghayal terus dari tadi. Omonganmu
terbang kemana-mana. Kalau pelajaran kosong begini kan bagus. Kita bisa
melakukan apa saja”.
Pagi itu,
kelas Tohir dan Muji harusnya diisi kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia.
Sudah hampir setengah jam sang guru tidak juga masuk ke kelas mereka. Sang
ketua kelas yang harusnya melaporkan hal itu kepada guru yang bertugas di ruang
piket malah urung melakukannya. Para murid yang lainnya menahannya agar tak
keluar kelas.
“Aku bosan.
Bingung mau melakukan apa”. Tohir berseru lagi.
“Kalau
begitu kau berhenti saja sekolah. Cari kerja, lalu menikah”. Muji lanjut
menggambar buku tulisnya.
“Gila.. Aku
bukan bosan sekolah. Aku hanya bosan dengan hari ini”.
“Biasanya
kau senang mengganggu si Wiwit ke mejanya. Kenapa tak kau lakukan saja lagi.
Menghilangkan bosanmu”.
Tohir
mengubah pandangannya pada murid perempuan itu. Wiwit. Berada sekitar tiga meter
jarak duduknya dari posisi meja Tohir dan Muji. “Enggak. Aku sedang tidak mau
cedera hari ini. Setiap kali aku menghampirinya, dia berubah menjadi Singa.
Mencakar habis tubuhku yang dapat diraihnya. Kemarin, saku bajuku robek
dibuatnya”.
“Hahaha..
Hey Tohir. Wajar saja dia begitu. Yang kau lakukan hampir setiap hari hanya
membuatnya risih dan marah. Kalau kau suka padanya harusnya tak begitu”. Muji
tertawa geli. Dia menutup buku tulisnya dan memutar lagi badannya menghadap Tohir.
“Hey..
Umurmu sudah berapa tahun memangnya? Lagakmu seperti lebih tua saja. Sok tahu
segalanya”. Tohir menyaut ketus. Dia masih bertingkah lesu.
“Santai boss..”.
Muji masih tertawa. “Apa mau kutunjukkan caranya merayu wanita?”. Muji
menggerakkan alis matanya naik turun. Menggoda Tohir yang murung.
“Mau
enggak?”. Muji bertanya tegas.
“Gimana?”.
Suasana
kelas mulai tampak ricuh dan terdengar berisik. Para murid bertingkah
macam-macam. Seperti sedang pesta perayaan. Mereka merayakan ketidakhadiran
sang guru dengan meriah.
Muji memutar
lagi posisi badannya. Kali ini dia menghadap ke meja yang ada di belakangnya.
Di meja itu ada dua orang murid wanita yang menempatinya. Muji menghadap pada
murid wanita yang berada tepat dibelakangnya.
“Eva..!”.
Muji memanggil lembut nama murid wanita itu. Tohir sedang memperhatikan.
“Eva lagi
ngapain itu dek?”. Muji masih bertingkah lembut. Kasihan, Eva tak membalas
kelembutan Muji. Eva memasang raut wajah jijiknya. Tohir tertawa.
“Diamlah,
Muji. Wajahmu itu bikin aku geli”, Eva menyaut ketus.
“Hey, kau
malah menghina wajahku. Apa kau pikir wajahmu rupawan?”. Muji membalas kesal.
“Sudah..
Sudah.. Kau gagal Muji. Coba lain kali saja”. Tohir berusaha menenangkan.
Sambil tertawa dia memutar tubuh Muji agar kembali menghadap ke depan.
Meninggalkan Eva yang tampaknya semakin jijik.
Muji gagal
dengan percontohannya. Tapi dia berhasil dengan satu hal. Mengubah raut wajah
murung Tohir menjadi ceria. Tohir masih menertawakan kesombongan dan kegagalan
Muji. Muji hanya diam dan mengambil lagi buku tulis yang tadinya dia buat untuk
menggambar dari laci meja. Dia menggambar lagi.
“Kau boleh
berhenti tertawa kalau sudah tidak lucu. Jangan berusaha mengejekku”. Muji
mencoba menghentikan tawa Tohir.
“Oke boss..
Aku berhenti”. Tohir mengelus-elus punggung Muji. Mereka diam sejenak.
“Hey, Muji.
Beberapa hari ini ada saja murid wanita dari kelas sebelah yang memanggil-manggilku
dari jendela kelas mereka. Setelah itu mereka menyembunyikan wajahnya di balik
tembok kelasnya. Terkadang mereka menggodaku. Aku tak menghiraukannya”. Tohir
tiba-tiba berseru.
“Tohir, kau
ini janganlah sok ganteng. Mungkin saja mereka bukan menujukannya padamu.
Mungkin pada orang yang ada di dekatmu. Atau mungkin saja aku”.
“Kalau itu
tertuju padamu aku tidak percaya. Wajahku lebih baik dari pada wajahmu. Mereka
tidak mungkin salah melihat, Muji”. Tohir kembali tertawa.
“Sial, kau
ini sama saja dengan wanita gila yang di belakangku”.
“Hey, Muji.
Aku mendengar omonganmu”. Eva menyaut keras dari belakang.
“Aku tak
peduli”. Muji menjawab kesal.
“Aku jadi
khawatir akan ada baku hantam setelah ini”. Tohir menyela dengan sedikit tawa.
“Jangan
bodoh Tohir. Aku tak mungkin melawan wanita”.
“Apa kau pikir aku takut padamu, Muji?”. Eva kembali menyaut. Dia mendengar perkataan
Muji. Wanita yang satu ini memang murid wanita yang sangat tomboy di kelas
mereka. Tampaknya Muji memang salah telah menggodanya.
“Mungkin,
khusus untuk wanita yang di belakangku ini, aku buat pengecualian. Akan kuhajar
dia kalau sekali lagi menyautku”. Muji mengucap pelan pada Tohir. Dia mulai
terlihat marah.
“Hahaha.. Tenanglah.
Kalau begitu kita lebih baik menjauh darinya. Ayo kita keluar kelas. Sekalian,
kita buktikan omonganku”. Tohir menarik tubuh Muji agar berdiri dan berjalan
meninggalkan meja mereka. Mereka menuju pintu. Keluar kelas.
Tohir dan
Muji berdiri berdua di depan pintu kelas. Pandangan mereka sama-sama tertuju
pada sebuah jendela kelas yang berada tepat di sebelah kelas mereka. Itu adalah
ruangan kelas dua.
Mereka
mengangkat kepala dan memanjangkan leher. Berusaha melihat wajah wanita yang
duduk di sebelah jendela kelas itu. Tak ada satu pun murid wanita yang duduk di
sebelah jendela.
“Aku rasa
kau mengigau beberapa hari ini Tohir. Mana mungkin kakak kelas menggoda anak bawang sepertimu. Dan lihat, tak
ada murid wanita yang duduk di sebelah jendela”.
“Kalau aku
anak bawang, kau anak apa? Anak ketumbar?”. Tohir berhenti melihat. Tohir
jongkok dan bersandar di pilar penyangga bangunan atap kelasnya. “Mungkin
bukan sekarang waktunya. Aku selalu mendengar panggilan mereka ketika jam
istirahat”.
Tohir dan
Muji lantas asyik mengobrol di depan kelas. Tohir masih pada posisinya, dan Muji
duduk di depan Tohir. Menghadap arah yang berbeda. Halaman depan sekolah
terpampang luas di depan mereka.
Jam
pelajaran Bahasa Indonesia yang kosong harusnya terlaksana selama dua jam
mata pelajaran. Masih tersisa waktu satu
jam lebih untuk menunggu waktu istirahat pertama tiba.
“Hey,
kalian, kemari..!”. Tiba-tiba, suara seorang pria tua terdengar keras memanggil.
Tohir dan Muji terlihat gugup dan bingung. Sadar sedang melakukan kesalahan.
Mereka perlahan berdiri sambil terus melihat ke arah suara itu. Rasa takut
membuat mereka melangkah pelan dan saling dorong.
“Cepat
sedikit..!”. Pria tua itu berteriak lagi. Membuat Tohir dan Muji mempercepat
langkahnya.
Tohir dan
Muji sudah berdiri di hadapan si pria tua. Dia adalah salah seorang guru yang
kebetulan bertugas menjaga ruangan piket. Pria tua itu diam sejenak sambil
menatap Tohir dan Muji yang berdiri sambil menundukkan kepala di hadapannya.
“Sedang apa
kalian berdua di luar itu? Kenapa tidak di dalam kelas? Inikan masih jam
pelajaran”.
“Emm.. Emm..
Membersihkan sampah pak!”. Tohir menjawab pelan. Tubuhnya sedikit bergetar
ketakutan. Dia khawatir si pria tua itu akan menghukum mereka.
“Apa guru
kalian tak ada?”. Tohir dan Muji mengangguk. “Kalau begitu bagus. Mari ikut
saya..”.
Mereka
berjalan mengikuti langkah si pria tua. Di belakangnya. Keduanya saling pukul
dan menjitak. Mereka saling
menyalahkan. Tohir dan Muji menebak-nebak akan dibawa kemana mereka.
Dan
sampailah mereka. “Ini, silakan dipegang dulu. Masing-masing pegang satu”.
Muji menatap bingung. Matanya berpindah-pindah, dari wajah Tohir lompat ke
wajah si pria tua. Tohir menerima dengan pasrah benda yang diberikan si pria
tua itu padanya. Dia menebak sesuatu di pikirannya.
Tohir dan
Muji berdiri bersebelahan di depan pintu gudang sekolah. Mengarah kedalamnya,
dan menerima sapu ijuk/lidi dan sekop sampah dari si pria tua yang berada di dalam.
“Saya tahu,
kalian berdua adalah anak yang rajin. Saya minta kalian bersihkan sampah
dedaunan pohon-pohon yang ada di pinggir lapangan. Silakan berhenti jika bel
jam istirahat berbunyi”. Pria tua itu menutup perintahnya dengan tersenyum. Itu
bukanlah senyum yang ramah. Jawaban Tohir 'membersihkan sampah' nampaknya menambah masalah bagi mereka berdua.
“Oh, Tuhan.
Seenaknya saja orangtua itu. Kau lihat Tohir, luasnya lapangan ini seratus kali
lipat luas halaman rumahku. Aku mungkin sudah pingsan duluan sebelum sempat
membersihkan seperempatnya”. Muji mengeluh kesal. Mereka berjalan menuju pohon
pertama di sisi timur.
“Kenapa kau
mengeluh padaku? Sana, mengeluhlah pada orang tua itu”.
“Ini semua
karenamu Tohir. Aku takkan mengalami ini jika tak mengikutimu keluar kelas”.
“Seenaknya saja kau bicara”. Tohir menyela.
“Ini juga gara-gara wanita gila itu”.
Tohir tertawa. “Kau menyalahkan semua orang”.
“Seenaknya saja kau bicara”. Tohir menyela.
“Ini juga gara-gara wanita gila itu”.
Tohir tertawa. “Kau menyalahkan semua orang”.
Sementara
Tohir dan Muji melaksanakan tugasnya di lapangan. Di kelas mereka berdua telah
masuk seorang guru pengganti. Mengisi kekosongan karena ketidakhadiran sang
guru Bahasa Indonesia. Teman-teman di kelas mereka tahu, kalau guru pengganti
itu masuk karena ulah Tohir dan Muji. Tapi mereka tidak tahu, kalau keduanya
sedang bersusah-susah membersihkan lapangan sekolah.
“ Oh, Tuhan.
Kenapa aku harus mengikuti perintah si orang tua itu. Ibuku bahkan tak pernah
memintaku menyapu kamarku”. Muji semakin menggerutu. Dia mulai menyapu sampah
dedaunan yang berada tepat di bawah pohon.
“Baik sekali
ibumu. Ibuku membuatku bisa melakukan segala hal. Terkecuali memasak”.
“Kau memang
berbakat jadi pembantu”. Muji tertawa. Tohir melemparnya dengan tumpukan sampah
yang telah terkumpul.
“Hey..!!
Jangan bercanda”. Suara pria tua itu
berteriak keras ke arah mereka, dari pintu ruang piket.
“Kau tahu
Muji, dia mengawasi kita layaknya kita berdua adalah tahanan”.
Pukul 09.40.
Bel jam istirahat pertama telah berbunyi. Seragam Tohir dan Muji kuyup oleh
keringat. Mereka selesai dengan tugasnya. Lapangan sekolah bersih dari sampah. Tapi, sekolah tak sedikit pun berterimakasih atas kerja
keras mereka berdua.
0 komentar:
Posting Komentar