Sumber Gambar: kajmpop.wordpress.com
“Mau apa kita disini?”. Dalam gelap dan
sepi seorang gadis kecil bertanya pelan. Deru nafasnya yang keluar senada
dengan lembut suaranya. Terdengar sedikit takut. Tapi itu membuat senang
seorang bocah lelaki yang berada tepat di sebelahnya. Ya, di sebelahnya, sedang
asik menikmati kesempatan memegang
lembut tangan si gadis kecil.
...
Perkenalkan, dia adalah Tohir. Bocah
lelaki kecil yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Dia hanya bocah lelaki biasa. Penikmat film kartun dan serial super hero. Sama dengan yang
lainnya.
Tempat gelap dan sepi itu adalah wilayah
kekuasaannya. Begitu kira-kira dia menganggapnya. Sebenarnya, itu adalah
halaman luas milik tetangga sebelah rumah orangtuanya. Halaman rumah yang
sangat luas itu ditumbuhi banyak pepohonan dan tanaman kecil. Tak ada pagar
tembok, besi, atau pun kayu yang menutupi sekeliling halaman rumah itu. Hal itu
membuat si Tohir mudah saja untuk memasukinya.
Dia juga sering menggunakannya sebagai tempat bermain dengan
teman-temannya sesuka hati. Sang pemilik rumah dan halaman luas itu pun tak
pernah melarangnya bermain disitu.
Seorang gadis kecil nan cantik jelita,
yang berusia setahun lebih muda darinya. Baru beberapa hari yang lalu telah
resmi menjadi kekasihnya. Dialah gadis yang menjadi pacar pertamanya.
'Tapi tunggu dulu. Mereka masih bocah yang
berusia 11 dan 12 tahun. Mereka tidak seharusnya berada di tempat gelap dan sepi seperti itu'.
Semua orang akan berfikir begitu. 'Bagaimana bisa mereka ada disitu?'
Kekasih si Tohir itu bernama Ica. Ica
adalah penduduk baru yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal si Tohir. Mereka
bertetangga. Ica dan orangtuanya baru sekitar dua bulan yang lalu berpindah
tempat tinggal.
Sebenarnya Ica lah yang lebih dulu
tertarik pada si Tohir. Tohir tak pernah sedikit pun menyukainya. 'Lalu,
bagaimana bisa mereka
menjadi sepasang kekasih?'
...
Begini. Setiap malam, selepas waktu
maghrib Tohir selalu berangkat belajar mengaji ke rumah salah seorang guru ngaji di kampungnya. Rumah guru ngaji itu
berada cukup jauh dari tempat tinggalnya. Dia selalu berangkat dengan berjalan
kaki. Entah sudah berapa lama dia belajar mengaji di tempat itu. Hingga suatu malam, bergabunglah
seorang murid baru. Dialah Ica.
Bergabungnya
Ica belajar mengaji di tempat itu, tak lantas membuat Ica langsung terpikat pada si
Tohir. Ica masih mengabaikan banyak orang. Dia hanya berkenalan dengan beberapa. Tapi tak berkenalan dengan Tohir.
Ica adalah gadis yang sangat cantik. Kecantikannya seringkali membuat kacau suasana
pengajian. Hampir setiap malam. Murid-murid lelaki banyak yang menjadi gila.
Melakukan tingkah-tingkah yang aneh dan bodoh. Ada yang jungkir balik kesan -- kesini, berlompat-lompatan dan berlari-larian, hingga saling pukul memukul, satu dengan yang lain.
Semuanya hanya untuk menarik simpatik
gadis kecil itu.
Tampaknya memang begitulah cara bocah
lelaki menggoda seorang gadis yang disukainya. Sudah jelas mereka takkan
mungkin bisa merayu dengan gombalan maut, karena mereka bukan orang dewasa. Tapi
Ica tak pernah perduli dengan semua tingkah para bocah lelaki itu.
Ada saja kelakuaan mereka yang berusaha menggoda Ica. Dia akan mulai merasa risih saat mereka
yang lelah jungkir balik,
berlompat-lompatan dan berlari-larian, dan pukul-pukulan, kemudian malah mengganggunya.
Mungkin menggangu adalah jurus terakhir para lelaki yang menggila itu.
Mereka mengganggu Ica dengan bermacam cara. Mulai dari mencolek-colek,
berpura-pura jatuh dihadapan sang gadis atau jatuh menyenggolnya, menarik-narik
pakaian atau kerudung yang dikenakan sang gadis. Dan yang terbodoh,
bertindak nekat merangkulnya. Salah
satu tangan manis Ica pasti melayang ke wajah
atau ke tubuh lelaki itu.
Sang guru mengaji faham, mereka sedang
berebut mendapatkan perhatian gadis kecil nan cantik itu. “Begitulah anak kecil bila
jatuh cinta”, fikirnya. Tetapi
tugasnya pun bertambah karena itu.
Tidak lagi hanya berteriak mengajar
mengaji, tapi juga berteriak menenangkan kekacauan yang dilakukan para bocah lelaki yang sedang di mabuk
cinta.
Padahal tak hanya Ica
murid perempuan yang ada di tempat itu. Ada banyak juga yang lainnya. Tetapi, memang tidak ada yang
secantik Ica. Ica benar-benar bagaikan bidadari yang turun di lembah manusia buruk rupa. Dia berkilau sendirian. Alhasil, beberapa murid perempuan ada yang iri padanya.
Setelah hampir bosan Ica dengan semua
tingkah bodoh para lelaki itu setiap malamnya. Kemudian dia pun tersadar. Hanya
ada seorang lelaki yang tak bertingkah seperti yang lainnya. Lelaki itu selalu
terlihat tenang dan damai. Seolah tak perduli dengan segala kericuhan. Dalam
hati Ica berucap “bagaimana mungkin laki-laki itu tak tersihir dengan pesonaku? dia tenang dan tak gila seperti yang lainnya”.
Maka, terjadilah. Ica mulai tersihir dengan
pesona lelaki yang satu itu. Pelan-pelan Ica mulai mencuri-curi pandang padanya.
Sesekali pandangannya akan kabur, lari terbirit-birit jika lelaki itu
melihatnya. Kemudian berlagak seolah melihat yang lain.
Kita pasti sudah sama-sama tahu kalau
lelaki itu adalah Tohir. Ya, dia memang Tohir. Tohir mulai merasa dirinya terus diperhatikan. Tapi dia tidak
perduli. “Sungguh sombongnya laki-laki itu”, begitu Ica berseru di
benaknya.
Terkadang untuk menarik simpatik seorang wanita, lelaki
tidak membutuhkan usaha apa-apa. Ketika sudah berada di lingkungan yang sama dengannya, lelaki hanya cukup bertingkah
tenang. Seolah mengabaikannya. Itu akan membuat mereka penasaran.
Tidak ada yang tahu mengapa Tohir tak seperti
lelaki yang lainnya, menggoda Ica yang cantik. Yang jelas, hanya penulis cerita
inilah yang tahu.
Dia bukan sok cool, penakut, atau
mencoba menjalankan strategi yang lain. Kenyataannya dia memang tidak tertarik
pada Ica. Karena dihatinya sudah ada wanita lain yang dia kagumi. Dan wanita itu adalah teman satu
sekolahnya. Sayangnya, dia hanya bisa memendam rasa sukanya pada wanita
pujaannya itu. Tohir tak pernah ingin bertingkah gila di depan wanita
pujaannya. Seperti yang dilakukan teman-teman
lelaki di pengajiannya.
Ica mulai tak kuat memendam perasaannya.
Dia tak tahan lagi. Dia lelah mencuri
pandang, lelah diabaikan, dan mungkin juga lelah memimpikan. Akhirnya,
dia pun berinisiatif untuk
menyatakannya. Surat adalah pilihan cara yang digunakannya untuk mengungkapkan perasaannya pada si Tohir. Mereka memang ada di zaman yang mana surat adalah cara
yang paling trendy untuk mengungkap cinta.
Maka pada malam pengajian berikutnya. Tohir
mendapati dirinya menerima sepucuk surat. Seorang perempuan yang juga teman belajar
mengajinya memberikan surat itu
padanya selesai belajar mengaji.
“Tohir, ini surat dari Ica!!”. Perempuan itu lalu pergi. Tohir menerimanya dengan perasaan bingung.
“Tohir, ini surat dari Ica!!”. Perempuan itu lalu pergi. Tohir menerimanya dengan perasaan bingung.
Kedua mata si Tohir secepat kilat terbang menangkap
Ica yang baru keluar dari rumah sang guru mengaji. Dia melihat Ica berlari pontang-panting bak
seorang maling yang dikejar massa. Langkah seribunya menghilangkan sisi
keanggunannya. Dia terus melihat Ica hingga tak
tampak lagi di tikungan jalan, sambil tersenyum geli.
“Dia pasti malu”, Tohir menebak dalam hatinya.
“Dia pasti malu”, Tohir menebak dalam hatinya.
Tohir tak lagi terlihat cuek. Rasa
penasarannya pada isi surat itu meruntuhkan sisi kalemnya. Dia berjalan setengah berlari,
berharap cepat tiba di rumah. Langkahnya
terlihat lebih cepat. Dia melesat gesit di tepian
jalan. Berkali-kali kopiahnya yang sedikit longgar terjatuh karena hentakan
langkah kakinya. Tohir tak sabar ingin segera membaca surat dari Ica.
Setibanya di rumah, Tohir bergegas
menuju kamar. Menutup dan mengunci pintu, memastikan tak ada penyusup yang
masuk dan ikut membaca surat dari sang Ica. Tak
boleh ada yang mengganggu. Ini adalah pengalaman pertamanya menerima surat dari
seorang wanita.
Kertas surat itu tak ada amplopnya.
Mungkin Ica tak tahu tempat membeli amplop khusus untuk surat cinta. Kertas yang digunakan pun kertas putih
polos bergaris hitam. Untunglah mereka bukan anak TK. Bisa-bisa surat itu
ditulis di kertas bergaris kotak-kotak besar.
Terlihat tulisan yang ada di kertas itu.
Tak banyak kalimat yang tertulis. Hanya memenuhi
setengah saja dari panjang kertas. Tohir
mulai membaca dengan hikmat. Sambil bibirnya masih
terus tersenyum geli.
Seumur hidupnya, ini telah menjadi malam
yang paling membahagiakan baginya. Dia tak pernah menyangka, ada perempuan yang
begitu tergila-gila padanya. Dia memang tak menampik, Ica adalah perempuan yang
cantik.
Setelah habis satu
persatu kata-kata dalam surat itu dilahapnya, Tohir mulai lupa diri. Dia bertingkah sok dewasa. Sisi kekanak-kanakannya hilang sementara. Dia memasang raut wajah sombong,
agar terlihat tampan. Memaniskan senyumnya. Menegakkan posisi duduknya. Dia
lupa kalau dia sedang berada di kamarnya, sendirian. Siapa yang peduli? Tapi
tetap saja dibenaknya dia masih merasa geli.
Tohir terfikir sesuatu.
“Aku lebih baik menyukainya saja, daripada menyukai perempuan yang mungkin
tidak menyukaiku”. Begitu Tohir berucap dalam hatinya. Dia berencana mengalihkan perasaannya.
Memang begitulah
seharusnya. Banyak orang mengabaikan yang baik dan yang lebih peduli pada
dirinya, lalu bersusah-susah dan bersakit-sakit memperdulikan orang yang tak
menghiraukannya.
Sambil terus mengulang-ulang membaca
surat cinta dari Ica, Tohir menyiapkan kertas
kosong dan pena di hadapannya. Jenis kertas yang digunakan sama dengan kertas
surat yang Ica kirimkan padanya. Dia juga tidak punya kertas khusus untuk
menulis surat cinta. Tohir mencoba menulis balasannya.
Setelah melewati malam
yang cukup panjang, tidur hingga larut pagi, dan melewatkan waktu makan
malam. Akhirnya surat balasan itu selesai dibuatnya. Panjangnya hanya empat
baris. Tidak lebih banyak dari jumlah kata dalam surat milik Ica. Otaknya
menyeleksi kata-kata yang paling indah untuk di tuliskan. Mungkin setiap kata
membutuhkan waktu seleksi hampir setengah jam.
...
Ica menerima balasan
surat cintanya dari Tohir pada malam selanjutnya. Dia juga menerima surat itu
dari teman perempuan yang pada malam sebelumnya dia minta untuk memberikan
suratnya pada Tohir. “Aku merasa jadi seperti tukang pos sekarang.
Mudah-mudahan kau tidak membuat balasan lagi, agar aku bisa pensiun dari
pekerjaan bodoh ini”, perempuan si perantara surat mengeluh.
Tak ada lagi surat
menyurat, tak ada lagi rasa penasaran. Yang ada setelah itu hanya hari yang
indah dan malam yang penuh cinta. Begitu kira-kira Ica merasakan dalam hatinya.
Tapi Tohir sungguh sombongnya dia. Dia merasa menjadi laki-laki paling tampan
di kampungnya karena memiliki kekasih cantik yang jadi idaman para anak lelaki
disitu.
Setiap malam, Tohir akan
menemui kekasihnya itu. Tapi tidak ke rumahnya. Setengah akal sehatnya masih
menyadarkannya kalau mereka masih anak kecil. Tidak mungkin seorang anak lelaki
yang masih SD datang ke rumah perempuan yang juga masih SD untuk berpacaran.
Kedua orangtua Ica pasti menyuruhnya pulang.
Tohir meminta
teman-teman bermainnya, yang tinggal satu gang dengannya untuk menjemputnya ke
rumah setiap malam setelah dia pulang belajar mengaji. Ibunya tak pernah
mengijinkannya keluar dari rumah jika bukan malam libur sekolah. Tapi ibunya
tidak bisa menahannya untuk tidak pergi jika ramai-ramai temannya menjemputnya
ke rumah. Maka ibunya akan memberinya waktu satu jam untuk bermain keluar rumah.
Tohir mulai sering
keluar rumah dan mengenakan pakaian-pakaian terbaiknya. Tak jarang ibunya
menaruh curiga padanya ketika dia sedang asik melumuri rambutnya dengan gel dan
bergaya di depan cermin.
“Emang mau kemana sih? Kok pakai baju bagus sama gel rambut?”. Dia tahu ibunya takkan mungkin menebak kalau anak kecil seperti dia akan pergi pacaran.
“Emang mau kemana sih? Kok pakai baju bagus sama gel rambut?”. Dia tahu ibunya takkan mungkin menebak kalau anak kecil seperti dia akan pergi pacaran.
Selalu begitu. Tohir
akan menemui Ica di sebelah rumah Ica dengan membawa para komplotannya. Dia tak
pernah bisa menemui Ica sendiri. Jika sendiri dan mereka lalu berdua-duaan,
orang-orang pasti akan melihat dan melaporkan hal itu pada orangtua mereka.
Hubungan mereka bisa hancur. Maka dengan membawa komplotan akan menyamarkan hubungan
dan pertemuan mereka. Tak akan ada yang curiga. Itu adalah siasat si Tohir.
Melihat Tohir
menggunakan cara seperti itu, Ica lantas menirunya. Dia tak mau terlihat
menjadi perempuan satu-satunya dalam pertemuan itu. Ica sudah memiliki beberapa
teman perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya. Dia mengajak teman-temannya
itu.
Tapi Tohir mulai kesal.
Teman-temannya tak pernah membiarkannya untuk duduk tenang mengobrol
bersama Ica. Seperti di tempat pengajian. Selalu ada saja yang menggoda dan
mengganggu Ica. Tampaknya teman-temannya pun tak tahan melihat kecantikan
kekasihnya itu. Tohir pun merencanakan sesuatu.
...
Sabtu sore. Tohir
melamun di teras rumah. Ibunya sedang asik menyirami tanaman. Matanya tak
sedikit pun perduli dengan yang di kerjakan ibunya. Dia terpaku menatap yang
lain. Sebenarnya dia memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sudah dia rencanakan dari
sehari yang lalu. Tentang ketenangan dan kenyamanan jika bertemu Ica.
Malam itu.
Adzan Maghrib telah
selesai berkumandang beberapa menit yang lalu. Tohir mencari-cari pakaian yang
paling bagus, yang belum pernah dikenakannya di depan Ica. Ya, dia akan menemui Ica lagi. Malam minggu
kegiatan belajar mengaji, libur. Dan malam minggu, Tohir diperbolehkan ibunya
untuk keluar rumah dan pulang sedikit lebih lama. Hanya bertambah satu jam.
Menjadi jam sepuluh.
Tohir tak perlu menunggu
teman-temannya menjemput ke rumah. Ini malam libur, dia bisa keluar sesukanya.
Yang penting berpamitan. “Hati-hati, jangan pergi jauh-jauh”, suara ibunya
menyaut.
Tohir menghampiri rumah
salah seorang temannya. Dari kejauhan dia sudah melihat teman-temannya yang
lain berkumpul di teras rumah itu. Seperti biasa, mereka kemudian menuju sebuah
pondok bambu yang setiap pagi di gunakan pemiliknya untuk berjualan sarapan.
Pondok bambu itu adalah tempatnya setiap malam menemui Ica. Yang berada tepat di sebelah rumah Ica.
...
Tohir sudah menyusun
rencana dengan teman-temannya sebelum berangkat menemui Ica. Rencana yang sudah
dia matangkan sejak sore tadi. Teman-temannya setuju untuk mengikuti
rencananya. Teman-temannya selalu setuju dengannya. Karena dia adalah kapten
bagi teman-temannya itu.
Di pondok. Tohir
membisikkan sesuatu kepada Ica. Teman-teman Ica melihat mereka penasaran. Lalu
keadaan mulai mencair lagi. Tohir selesai berbisik. Semua kembali mengobrol dan
saling bercanda lagi. Lalu beberapa menit kemudian Tohir dan teman-temannya
berpamitan untuk pergi. Ica pun berpamitan kepada teman-temannya untuk masuk ke
rumah. Karena merasa tak ada keseruan lagi, teman-teman Ica kemudian
membubarkan diri dari pondok.
Ica mengintip dari balik
jendela bagian depan rumahnya. Dia memastikan teman-temannya sudah pergi semua
dari pondok itu. Lalu Ica pun keluar lagi dari rumahnya. Dia pergi menyeberangi jalan
di depan rumahnya, sendirian, menuju halaman luas sebuah rumah. Tempat biasa
Tohir bermain dengan teman-temannya. Rumah berhalaman luas itu berada di
seberang jalan rumahnya.
Salah seorang teman
Tohir yang sebelumnya ikut bersama Tohir menyambut Ica yang datang menghampiri.
Dia kemudian membawa Ica menuju ke tempat Tohir menunggu. Di balik sebuah pohon
rindang yang menyerupai pohon sawit. Entah pohon apa namanya. Halaman rumah
yang luas itu sangat minim penerangan. Di beberapa sudut ada yang terlihat
sangat gelap jika malam hari. Termasuk di tempat si Tohir menunggu.
Tohir menyambut tangan
Ica. Membantunya melangkah agar tidak terpeleset di rerumputan yang agak basah.
Gerimis sempat turun sore tadi. Gelapnya tempat itu membuat tanah-tanah yang
tidak rata hampir tak terlihat. Tapi Tohir sudah hafal kemana kaki harus
melangkah. Mereka kemudian mengambil posisi duduk di tanah berumput yang agak bergelombang.
Teman Tohir yang mengantarkan Ica padanya memukul pelan pundaknya. Pertanda dia
iri pada Tohir. Tohir hanya tersenyum dalam gelap.
Sejak Tohir memegang
tangan Ica, tak sekalipun dia melepasnya lagi. Sementara Ica sibuk
memutar-mutar kepalanya ke berbagai arah. Memastikan tak ada orang yang akan
datang atau melihat mereka. Tohir tahu, itu tidak akan mungkin. Bahkan pemilik
rumah sekali pun takkan bisa melihat. Hanya Tuhan lah yang bisa.
Tohir terus menikmati
kesempatan emas itu. Memegang dan mengelus lembut tangan kekasihnya. Ica
tak bisa melihat wajah bodoh si Tohir ketika
merasakan kenikmatannya. Saking
nikmatnya, Tohir bahkan tidak perduli sedikit
pun dengan pertanyaan-pertanyaan Ica yang gelisah.
Mereka tak bisa saling
melihat. Wajah mereka samar dalam gelap. Malam itu lebih gelap lagi. Bulan dan
bintang sedang tertutup awan hitam. Ingin sebenarnya tohir melihat raut wajah
Ica ketika itu. “Tapi sudahlah, wajahnya pasti masih tetap cantik”, Tohir
berucap di benaknya. Baginya, memegang dan
mengelus tangan Ica malam ini
lebih penting daripada melihat wajah.
Disaat Tohir sedang asik
dengan kenikmatannya. Teman-temannya mulai berkeluh kesah. Bagaimana tidak,
mereka hanya berdiri sendirian di setiap sudut halaman itu. Masing-masing
mengambil posisi untuk berjaga-jaga agar tak ada orang yang datang.
Nyamuk-nyamuk yang datang mencumbu mulai menyadarkan kebodohan mereka. Tapi
mereka terus bertahan hingga sang kapten puas dengan malamnya yang indah,
tetapi buruk bagi mereka. Sungguh para ajudan yang baik hati.
Entah sudah berapa menit
berlalu. Mungkin sudah berjam-jam bagi teman-temannya yang muak berjaga. Tapi
masih semenit bagi si Tohir. Di kegelapan dan kesepian itu Tohir tak berkata
apa-apa pada Ica. Ica pun lelah bertanya-tanya gelisah. Tak kunjung dijawab.
Lalu memutuskan diam. Dia pasrah mengikuti perintah tangan si Tohir. Ketika
tangan si Tohir mengangkat tangannya ke bahu, ke perut, ke paha, dia tetap diam mengikuti. Tohir
berupaya sendiri menggerakkan tangan kekasihnya itu. Ya seperti itu, kadang dia
membuat tangan Ica merangkulnya dengan meletakkannya di bahunya, lalu
digantinya ke perutnya, seolah Ica memeluknya. Lalu berpindah lagi ke pahanya,
agar dia bisa meremas dan mengelusnya. Hanya itu. Dan begitu terus
berulang-ulang. Tapi Tohir tak berbuat sebaliknya. Dia tak ingin menyentuh
tubuh Ica di bagian yang lain.
...
Hampir setiap menit
Tohir tersenyum-senyum sendiri, jika mengingat kejadian menyenangkan semalam.
Bahkan ketika menonton TV fikirannya terbang kembali pada kejadian itu. Itulah
kebahagian terbaiknya selama hidupnya. Dia terfikir untuk merencanakannya sekali lagi.
Tohir sedang membantu
ibunya di dapur sore ini. Membersihkan beberapa peralatan masak yang berdedu
karena lama tak terpakai. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita mengucap
salam dari pintu masuk di samping rumah. Wanita itu masuk, dan langsung berbincang
pada ibunya, di dapur. Dia
mengenal wanita itu. Ibu dari salah seorang temannya yang ikut mensukseskan
rencananya semalam.
“Tohir, pacaran sama anak pak Farid
ya?”, wanita itu tiba-tiba saja menceletuk. Biji mata si Tohir terbelalak
hampir terlepas. Mulutnya menganga. Dia kaget mendengarnya. Wanita itu terlihat
tersenyum menatapnya. Itu adalah senyum penghancur baginya. Pak Farid adalah
ayah Ica.
Pada malam kebahagiaan itu. Salah seorang
temannya. Anak dari wanita itu. Tiba-tiba hilang entah kemana setelah si Tohir
selesai berduaan dengan Ica. Tohir dan teman-temannya yang lain berfikir dia
mungkin pergi karena capek menunggu atau merasa bosan. Mereka tidak
memperdulikannya. Ternyata mereka salah. Temannya itu tak sengaja dilihat oleh
ayah dan ibunya yang ketika itu lewat dengan sepeda motor di tempatnya berjaga.
Dia lantas ditanya “sedang apa”, dan tak bisa menjawab. Ayah dan ibunya
kemudian mengajaknya pulang, karena khawatir dia akan melakukan hal-hal yang aneh di tempat sepi,
sendirian. Dan di rumah dia dipaksa untuk menjelaskan tentang hal yang dilakukannya
di tempat itu. Dengan terpaksa, dia pun mengucap jujur kalau dia menjaga keamanan
untuk si Tohir. Sang kapten.
Mengetahui semua itu, ibu si Tohir kemudian
tegas melarang si Tohir agar tidak berteman lagi dengan Ica. Dan melarang untuk
keluar rumah pada malam hari. Terkecuali untuk belajar mengaji. Maka, dengan
begitu berakhirlah hubungan Tohir dan Ica. Mereka sudah bertindak melewati
batas kewajaran dan kepatutan. Anak-anak seharusnya berperilaku sebagai
anak-anak. Sayangnya, Tohir tak pernah tahu bagaimana seharusnya anak-anak berperilaku
ketika jatuh cinta dan mencintai. Tak ada
pelajaran tentang itu, dan tak ada yang mengajarinya.
0 komentar:
Posting Komentar