Selasa, 23 Agustus 2016

Cerpen: KELEWAT BATAS

Sumber Gambar: kajmpop.wordpress.com


“Mau apa kita disini?”. Dalam gelap dan sepi seorang gadis kecil bertanya pelan. Deru nafasnya yang keluar senada dengan lembut suaranya. Terdengar sedikit takut. Tapi itu membuat senang seorang bocah lelaki yang berada tepat di sebelahnya. Ya, di sebelahnya, sedang  asik menikmati kesempatan memegang lembut tangan si gadis kecil.
...
Perkenalkan, dia adalah Tohir. Bocah lelaki kecil yang masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar. Dia hanya bocah lelaki biasa. Penikmat film kartun dan serial super hero. Sama dengan yang lainnya.

Tempat gelap dan sepi itu adalah wilayah kekuasaannya. Begitu kira-kira dia menganggapnya. Sebenarnya, itu adalah halaman luas milik tetangga sebelah rumah orangtuanya. Halaman rumah yang sangat luas itu ditumbuhi banyak pepohonan dan tanaman kecil. Tak ada pagar tembok, besi, atau pun kayu yang menutupi sekeliling halaman rumah itu. Hal itu membuat si Tohir mudah saja untuk memasukinya. Dia juga sering menggunakannya sebagai tempat bermain dengan teman-temannya sesuka hati. Sang pemilik rumah dan halaman luas itu pun tak pernah melarangnya bermain disitu.

Seorang gadis kecil nan cantik jelita, yang berusia setahun lebih muda darinya. Baru beberapa hari yang lalu telah resmi menjadi kekasihnya. Dialah gadis yang menjadi pacar pertamanya.

'Tapi tunggu dulu. Mereka masih bocah yang berusia 11 dan 12 tahun. Mereka tidak seharusnya berada di tempat gelap dan sepi seperti itu'. Semua orang akan berfikir begitu. 'Bagaimana bisa mereka ada disitu?'

Kekasih si Tohir itu bernama Ica. Ica adalah penduduk baru yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal si Tohir. Mereka bertetangga. Ica dan orangtuanya baru sekitar dua bulan yang lalu berpindah tempat tinggal. 

Sebenarnya Ica lah yang lebih dulu tertarik pada si Tohir. Tohir tak pernah sedikit pun menyukainya. 'Lalu, bagaimana bisa mereka menjadi sepasang kekasih?'
...
Begini. Setiap malam, selepas waktu maghrib Tohir selalu berangkat belajar mengaji ke rumah salah seorang guru ngaji di kampungnya. Rumah guru ngaji itu berada cukup jauh dari tempat tinggalnya. Dia selalu berangkat dengan berjalan kaki. Entah sudah berapa lama dia belajar mengaji di tempat itu. Hingga suatu malam, bergabunglah seorang murid baru. Dialah Ica.

Bergabungnya Ica belajar mengaji di tempat itu, tak lantas membuat Ica langsung terpikat pada si Tohir. Ica masih mengabaikan banyak orang. Dia hanya berkenalan dengan beberapa. Tapi tak berkenalan dengan Tohir.

Ica adalah gadis yang sangat cantik. Kecantikannya seringkali membuat kacau suasana pengajian. Hampir setiap malam. Murid-murid lelaki banyak yang menjadi gila. Melakukan tingkah-tingkah yang aneh dan bodoh. Ada yang jungkir balik kesan -- kesini, berlompat-lompatan dan berlari-larian, hingga saling pukul memukul, satu dengan yang lain. Semuanya hanya untuk menarik simpatik gadis kecil itu.

Tampaknya memang begitulah cara bocah lelaki menggoda seorang gadis yang disukainya. Sudah jelas mereka takkan mungkin bisa merayu dengan gombalan maut, karena mereka bukan orang dewasa. Tapi Ica tak pernah perduli dengan semua tingkah para bocah lelaki itu.

Ada saja kelakuaan mereka yang berusaha menggoda Ica. Dia akan mulai merasa risih saat mereka yang lelah jungkir balik, berlompat-lompatan dan berlari-larian, dan pukul-pukulan, kemudian malah mengganggunya. Mungkin menggangu adalah jurus terakhir para lelaki yang menggila itu.

Mereka mengganggu Ica dengan bermacam cara. Mulai dari mencolek-colek, berpura-pura jatuh dihadapan sang gadis atau jatuh menyenggolnya, menarik-narik pakaian atau kerudung yang dikenakan sang gadis. Dan yang terbodoh, bertindak nekat merangkulnya. Salah satu tangan manis Ica pasti melayang ke wajah atau ke tubuh lelaki itu.

Sang guru mengaji faham, mereka sedang berebut mendapatkan perhatian gadis kecil nan cantik itu. Begitulah anak kecil bila jatuh cinta”, fikirnya. Tetapi tugasnya pun bertambah karena itu. Tidak lagi hanya berteriak mengajar mengaji, tapi juga berteriak menenangkan kekacauan yang dilakukan para bocah lelaki yang sedang di mabuk cinta.

Padahal tak hanya Ica murid perempuan yang ada di tempat itu. Ada banyak juga yang lainnya. Tetapi, memang tidak ada yang secantik Ica. Ica benar-benar bagaikan bidadari yang turun di lembah manusia buruk rupa. Dia berkilau sendirian. Alhasil, beberapa murid perempuan ada yang iri padanya.

Setelah hampir bosan Ica dengan semua tingkah bodoh para lelaki itu setiap malamnya. Kemudian dia pun tersadar. Hanya ada seorang lelaki yang tak bertingkah seperti yang lainnya. Lelaki itu selalu terlihat tenang dan damai. Seolah tak perduli dengan segala kericuhan. Dalam hati Ica berucap “bagaimana mungkin laki-laki itu tak tersihir dengan pesonaku? dia tenang dan tak gila seperti yang lainnya”.

Maka, terjadilah. Ica mulai tersihir dengan pesona lelaki yang satu itu. Pelan-pelan Ica mulai mencuri-curi pandang padanya. Sesekali pandangannya akan kabur, lari terbirit-birit jika lelaki itu melihatnya. Kemudian berlagak seolah melihat yang lain.

Kita pasti sudah sama-sama tahu kalau lelaki itu adalah Tohir. Ya, dia memang Tohir. Tohir mulai merasa dirinya terus diperhatikan. Tapi dia tidak perduli. “Sungguh sombongnya laki-laki itu”, begitu Ica berseru di benaknya.

Terkadang untuk menarik simpatik seorang wanita, lelaki tidak membutuhkan usaha apa-apa. Ketika sudah berada di lingkungan yang sama dengannya, lelaki hanya cukup bertingkah tenang. Seolah mengabaikannya. Itu akan membuat mereka penasaran.

Tidak ada yang tahu mengapa Tohir tak seperti lelaki yang lainnya, menggoda Ica yang cantik. Yang jelas, hanya penulis cerita inilah yang tahu.

Dia bukan sok cool, penakut, atau mencoba menjalankan strategi yang lain. Kenyataannya dia memang tidak tertarik pada Ica. Karena dihatinya sudah ada wanita lain yang dia kagumi. Dan wanita itu adalah teman satu sekolahnya. Sayangnya, dia hanya bisa memendam rasa sukanya pada wanita pujaannya itu. Tohir tak pernah ingin bertingkah gila di depan wanita pujaannya. Seperti yang dilakukan teman-teman lelaki di pengajiannya.

Ica mulai tak kuat memendam perasaannya. Dia tak tahan lagi. Dia lelah mencuri pandang, lelah diabaikan, dan mungkin juga lelah memimpikan. Akhirnya, dia pun berinisiatif untuk menyatakannya. Surat adalah pilihan cara yang digunakannya untuk mengungkapkan perasaannya pada si Tohir. Mereka memang ada di zaman yang mana surat adalah cara yang paling trendy untuk mengungkap cinta.

Maka pada malam pengajian berikutnya. Tohir mendapati dirinya menerima sepucuk surat. Seorang perempuan yang juga teman belajar mengajinya memberikan surat itu padanya selesai belajar mengaji. 

“Tohir, ini surat dari Ica!!”. Perempuan itu lalu pergi. Tohir menerimanya dengan perasaan bingung.

Kedua mata si Tohir secepat kilat terbang menangkap Ica yang baru keluar dari rumah sang guru mengaji. Dia melihat Ica berlari pontang-panting bak seorang maling yang dikejar massa. Langkah seribunya menghilangkan sisi keanggunannya. Dia terus melihat Ica hingga tak tampak lagi di tikungan jalan, sambil tersenyum geli. 

Dia pasti malu”, Tohir menebak dalam hatinya.

Tohir tak lagi terlihat cuek. Rasa penasarannya pada isi surat itu meruntuhkan sisi kalemnya. Dia berjalan setengah berlari, berharap cepat tiba di rumah. Langkahnya terlihat lebih cepat. Dia melesat gesit di tepian jalan. Berkali-kali kopiahnya yang sedikit longgar terjatuh karena hentakan langkah kakinya. Tohir tak sabar ingin segera membaca surat dari Ica.

Setibanya di rumah, Tohir bergegas menuju kamar. Menutup dan mengunci pintu, memastikan tak ada penyusup yang masuk dan ikut membaca surat dari sang Ica. Tak boleh ada yang mengganggu. Ini adalah pengalaman pertamanya menerima surat dari seorang wanita.

Kertas surat itu tak ada amplopnya. Mungkin Ica tak tahu tempat membeli amplop khusus untuk surat cinta. Kertas yang digunakan pun kertas putih polos bergaris hitam. Untunglah mereka bukan anak TK. Bisa-bisa surat itu ditulis di kertas bergaris kotak-kotak besar.

Terlihat tulisan yang ada di kertas itu. Tak banyak kalimat yang tertulis. Hanya memenuhi setengah saja dari panjang kertas. Tohir mulai membaca dengan hikmat. Sambil bibirnya masih terus tersenyum geli.

Seumur hidupnya, ini telah menjadi malam yang paling membahagiakan baginya. Dia tak pernah menyangka, ada perempuan yang begitu tergila-gila padanya. Dia memang tak menampik, Ica adalah perempuan yang cantik.

Setelah habis satu persatu kata-kata dalam surat itu dilahapnya, Tohir mulai lupa diri. Dia bertingkah sok dewasa. Sisi kekanak-kanakannya hilang sementara. Dia memasang raut wajah sombong, agar terlihat tampan. Memaniskan senyumnya. Menegakkan posisi duduknya. Dia lupa kalau dia sedang berada di kamarnya, sendirian. Siapa yang peduli? Tapi tetap saja dibenaknya dia masih merasa geli.

Tohir terfikir sesuatu. “Aku lebih baik menyukainya saja, daripada menyukai perempuan yang mungkin tidak menyukaiku”. Begitu Tohir berucap dalam hatinya. Dia berencana mengalihkan perasaannya.

Memang begitulah seharusnya. Banyak orang mengabaikan yang baik dan yang lebih peduli pada dirinya, lalu bersusah-susah dan bersakit-sakit memperdulikan orang yang tak menghiraukannya.

Sambil terus mengulang-ulang membaca surat cinta dari Ica, Tohir menyiapkan kertas kosong dan pena di hadapannya. Jenis kertas yang digunakan sama dengan kertas surat yang Ica kirimkan padanya. Dia juga tidak punya kertas khusus untuk menulis surat cinta. Tohir mencoba menulis balasannya.

Setelah melewati malam yang cukup panjang, tidur hingga larut pagi, dan melewatkan waktu makan malam. Akhirnya surat balasan itu selesai dibuatnya. Panjangnya hanya empat baris. Tidak lebih banyak dari jumlah kata dalam surat milik Ica. Otaknya menyeleksi kata-kata yang paling indah untuk di tuliskan. Mungkin setiap kata membutuhkan waktu seleksi hampir setengah jam.
...
Ica menerima balasan surat cintanya dari Tohir pada malam selanjutnya. Dia juga menerima surat itu dari teman perempuan yang pada malam sebelumnya dia minta untuk memberikan suratnya pada Tohir. “Aku merasa jadi seperti tukang pos sekarang. Mudah-mudahan kau tidak membuat balasan lagi, agar aku bisa pensiun dari pekerjaan bodoh ini”, perempuan si perantara surat mengeluh.

Tak ada lagi surat menyurat, tak ada lagi rasa penasaran. Yang ada setelah itu hanya hari yang indah dan malam yang penuh cinta. Begitu kira-kira Ica merasakan dalam hatinya. Tapi Tohir sungguh sombongnya dia. Dia merasa menjadi laki-laki paling tampan di kampungnya karena memiliki kekasih cantik yang jadi idaman para anak lelaki disitu.

Setiap malam, Tohir akan menemui kekasihnya itu. Tapi tidak ke rumahnya. Setengah akal sehatnya masih menyadarkannya kalau mereka masih anak kecil. Tidak mungkin seorang anak lelaki yang masih SD datang ke rumah perempuan yang juga masih SD untuk berpacaran. Kedua orangtua Ica pasti menyuruhnya pulang.

Tohir meminta teman-teman bermainnya, yang tinggal satu gang dengannya untuk menjemputnya ke rumah setiap malam setelah dia pulang belajar mengaji. Ibunya tak pernah mengijinkannya keluar dari rumah jika bukan malam libur sekolah. Tapi ibunya tidak bisa menahannya untuk tidak pergi jika ramai-ramai temannya menjemputnya ke rumah. Maka ibunya akan memberinya waktu satu jam untuk bermain keluar rumah.

Tohir mulai sering keluar rumah dan mengenakan pakaian-pakaian terbaiknya. Tak jarang ibunya menaruh curiga padanya ketika dia sedang asik melumuri rambutnya dengan gel dan bergaya di depan cermin. 

“Emang mau kemana sih? Kok pakai baju bagus sama gel rambut?”. Dia tahu ibunya takkan mungkin menebak kalau anak kecil seperti dia akan pergi pacaran.

Selalu begitu. Tohir akan menemui Ica di sebelah rumah Ica dengan membawa para komplotannya. Dia tak pernah bisa menemui Ica sendiri. Jika sendiri dan mereka lalu berdua-duaan, orang-orang pasti akan melihat dan melaporkan hal itu pada orangtua mereka. Hubungan mereka bisa hancur. Maka dengan membawa komplotan akan menyamarkan hubungan dan pertemuan mereka. Tak akan ada yang curiga. Itu adalah siasat si Tohir.

Melihat Tohir menggunakan cara seperti itu, Ica lantas menirunya. Dia tak mau terlihat menjadi perempuan satu-satunya dalam pertemuan itu. Ica sudah memiliki beberapa teman perempuan yang tinggal di sekitar rumahnya. Dia mengajak teman-temannya itu.

Tapi Tohir mulai kesal. Teman-temannya tak pernah membiarkannya untuk duduk tenang mengobrol bersama Ica. Seperti di tempat pengajian. Selalu ada saja yang menggoda dan mengganggu Ica. Tampaknya teman-temannya pun tak tahan melihat kecantikan kekasihnya itu. Tohir pun merencanakan sesuatu.
...
Sabtu sore. Tohir melamun di teras rumah. Ibunya sedang asik menyirami tanaman. Matanya tak sedikit pun perduli dengan yang di kerjakan ibunya. Dia terpaku menatap yang lain. Sebenarnya dia memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sudah dia rencanakan dari sehari yang lalu. Tentang ketenangan dan kenyamanan jika bertemu Ica.

Malam itu.
Adzan Maghrib telah selesai berkumandang beberapa menit yang lalu. Tohir mencari-cari pakaian yang paling bagus, yang belum pernah dikenakannya di depan Ica. Ya, dia akan menemui Ica lagi. Malam minggu kegiatan belajar mengaji, libur. Dan malam minggu, Tohir diperbolehkan ibunya untuk keluar rumah dan pulang sedikit lebih lama. Hanya bertambah satu jam. Menjadi jam sepuluh.

Tohir tak perlu menunggu teman-temannya menjemput ke rumah. Ini malam libur, dia bisa keluar sesukanya. Yang penting berpamitan. “Hati-hati, jangan pergi jauh-jauh”, suara ibunya menyaut.

Tohir menghampiri rumah salah seorang temannya. Dari kejauhan dia sudah melihat teman-temannya yang lain berkumpul di teras rumah itu. Seperti biasa, mereka kemudian menuju sebuah pondok bambu yang setiap pagi di gunakan pemiliknya untuk berjualan sarapan. Pondok bambu itu adalah tempatnya setiap malam menemui Ica. Yang berada tepat di sebelah rumah Ica.
...
Tohir sudah menyusun rencana dengan teman-temannya sebelum berangkat menemui Ica. Rencana yang sudah dia matangkan sejak sore tadi. Teman-temannya setuju untuk mengikuti rencananya. Teman-temannya selalu setuju dengannya. Karena dia adalah kapten bagi teman-temannya itu.

Di pondok. Tohir membisikkan sesuatu kepada Ica. Teman-teman Ica melihat mereka penasaran. Lalu keadaan mulai mencair lagi. Tohir selesai berbisik. Semua kembali mengobrol dan saling bercanda lagi. Lalu beberapa menit kemudian Tohir dan teman-temannya berpamitan untuk pergi. Ica pun berpamitan kepada teman-temannya untuk masuk ke rumah. Karena merasa tak ada keseruan lagi, teman-teman Ica kemudian membubarkan diri dari pondok.

Ica mengintip dari balik jendela bagian depan rumahnya. Dia memastikan teman-temannya sudah pergi semua dari pondok itu. Lalu Ica pun keluar lagi dari rumahnya. Dia pergi menyeberangi jalan di depan rumahnya, sendirian, menuju halaman luas sebuah rumah. Tempat biasa Tohir bermain dengan teman-temannya. Rumah berhalaman luas itu berada di seberang jalan rumahnya.

Salah seorang teman Tohir yang sebelumnya ikut bersama Tohir menyambut Ica yang datang menghampiri. Dia kemudian membawa Ica menuju ke tempat Tohir menunggu. Di balik sebuah pohon rindang yang menyerupai pohon sawit. Entah pohon apa namanya. Halaman rumah yang luas itu sangat minim penerangan. Di beberapa sudut ada yang terlihat sangat gelap jika malam hari. Termasuk di tempat si Tohir menunggu.
Tohir menyambut tangan Ica. Membantunya melangkah agar tidak terpeleset di rerumputan yang agak basah. Gerimis sempat turun sore tadi. Gelapnya tempat itu membuat tanah-tanah yang tidak rata hampir tak terlihat. Tapi Tohir sudah hafal kemana kaki harus melangkah. Mereka kemudian mengambil posisi duduk di tanah berumput yang agak bergelombang. Teman Tohir yang mengantarkan Ica padanya memukul pelan pundaknya. Pertanda dia iri pada Tohir. Tohir hanya tersenyum dalam gelap.

Sejak Tohir memegang tangan Ica, tak sekalipun dia melepasnya lagi. Sementara Ica sibuk memutar-mutar kepalanya ke berbagai arah. Memastikan tak ada orang yang akan datang atau melihat mereka. Tohir tahu, itu tidak akan mungkin. Bahkan pemilik rumah sekali pun takkan bisa melihat. Hanya Tuhan lah yang bisa.

Tohir terus menikmati kesempatan emas itu. Memegang dan mengelus lembut tangan kekasihnya. Ica tak bisa melihat wajah bodoh si Tohir ketika merasakan kenikmatannya. Saking nikmatnya, Tohir bahkan tidak perduli sedikit pun dengan pertanyaan-pertanyaan Ica yang gelisah.

Mereka tak bisa saling melihat. Wajah mereka samar dalam gelap. Malam itu lebih gelap lagi. Bulan dan bintang sedang tertutup awan hitam. Ingin sebenarnya tohir melihat raut wajah Ica ketika itu. “Tapi sudahlah, wajahnya pasti masih tetap cantik”, Tohir berucap di benaknya. Baginya, memegang dan mengelus tangan Ica malam ini lebih penting daripada melihat wajah.

Disaat Tohir sedang asik dengan kenikmatannya. Teman-temannya mulai berkeluh kesah. Bagaimana tidak, mereka hanya berdiri sendirian di setiap sudut halaman itu. Masing-masing mengambil posisi untuk berjaga-jaga agar tak ada orang yang datang. Nyamuk-nyamuk yang datang mencumbu mulai menyadarkan kebodohan mereka. Tapi mereka terus bertahan hingga sang kapten puas dengan malamnya yang indah, tetapi buruk bagi mereka. Sungguh para ajudan yang baik hati.

Entah sudah berapa menit berlalu. Mungkin sudah berjam-jam bagi teman-temannya yang muak berjaga. Tapi masih semenit bagi si Tohir. Di kegelapan dan kesepian itu Tohir tak berkata apa-apa pada Ica. Ica pun lelah bertanya-tanya gelisah. Tak kunjung dijawab. Lalu memutuskan diam. Dia pasrah mengikuti perintah tangan si Tohir. Ketika tangan si Tohir mengangkat tangannya ke bahu, ke perut,  ke paha, dia tetap diam mengikuti. Tohir berupaya sendiri menggerakkan tangan kekasihnya itu. Ya seperti itu, kadang dia membuat tangan Ica merangkulnya dengan meletakkannya di bahunya, lalu digantinya ke perutnya, seolah Ica memeluknya. Lalu berpindah lagi ke pahanya, agar dia bisa meremas dan mengelusnya. Hanya itu. Dan begitu terus berulang-ulang. Tapi Tohir tak berbuat sebaliknya. Dia tak ingin menyentuh tubuh Ica di bagian yang lain.
...
Hampir setiap menit Tohir tersenyum-senyum sendiri, jika mengingat kejadian menyenangkan semalam. Bahkan ketika menonton TV fikirannya terbang kembali pada kejadian itu. Itulah kebahagian terbaiknya selama hidupnya. Dia terfikir untuk merencanakannya sekali lagi.

Tohir sedang membantu ibunya di dapur sore ini. Membersihkan beberapa peralatan masak yang berdedu karena lama tak terpakai. Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita mengucap salam dari pintu masuk di samping rumah. Wanita itu masuk, dan langsung berbincang pada ibunya, di dapur. Dia mengenal wanita itu. Ibu dari salah seorang temannya yang ikut mensukseskan rencananya semalam.

“Tohir, pacaran sama anak pak Farid ya?”, wanita itu tiba-tiba saja menceletuk. Biji mata si Tohir terbelalak hampir terlepas. Mulutnya menganga. Dia kaget mendengarnya. Wanita itu terlihat tersenyum menatapnya. Itu adalah senyum penghancur baginya. Pak Farid adalah ayah Ica.

Pada malam kebahagiaan itu. Salah seorang temannya. Anak dari wanita itu. Tiba-tiba hilang entah kemana setelah si Tohir selesai berduaan dengan Ica. Tohir dan teman-temannya yang lain berfikir dia mungkin pergi karena capek menunggu atau merasa bosan. Mereka tidak memperdulikannya. Ternyata mereka salah. Temannya itu tak sengaja dilihat oleh ayah dan ibunya yang ketika itu lewat dengan sepeda motor di tempatnya berjaga. Dia lantas ditanya “sedang apa”, dan tak bisa menjawab. Ayah dan ibunya kemudian mengajaknya pulang, karena khawatir dia akan melakukan hal-hal yang aneh di tempat sepi, sendirian. Dan di rumah dia dipaksa untuk menjelaskan tentang hal yang dilakukannya di tempat itu. Dengan terpaksa, dia pun mengucap jujur kalau dia menjaga keamanan untuk si Tohir. Sang kapten.

Mengetahui semua itu, ibu si Tohir kemudian tegas melarang si Tohir agar tidak berteman lagi dengan Ica. Dan melarang untuk keluar rumah pada malam hari. Terkecuali untuk belajar mengaji. Maka, dengan begitu berakhirlah hubungan Tohir dan Ica. Mereka sudah bertindak melewati batas kewajaran dan kepatutan. Anak-anak seharusnya berperilaku sebagai anak-anak. Sayangnya, Tohir tak pernah tahu bagaimana seharusnya anak-anak berperilaku ketika jatuh cinta dan mencintai. Tak ada pelajaran tentang itu, dan tak ada yang mengajarinya.

0 komentar:

Posting Komentar