Rabu, 28 Desember 2016

Cerpen: Kucing Bertanduk

Sumber Gambar: 1freewallpapers.com


“Kau sakit ya?”.

“Tidak”. Aku menatapnya bingung.

“Berarti kau sedang kerasukan”.

Roma menertawakanku. Aku tahu dia sedang berusaha menggugah kebisuanku. Tapi aku tak peduli, aku mengacuhkannya. Dia baru saja berpindah dari meja tempat teman-teman kami yang lain berkumpul, ke tempat duduk di depan meja yang kupakai sendirian. Aku sengaja memisahkan diri dari yang lainnya.

“Setan mana yang merasukimu hari ini, hhaa? Kau terlihat seperti bukan Tohir yang biasanya?”. Dia masih tertawa.

“Kupikir kau lebih baik diam saja”.

Beberapa jam yang lalu Roma dan teman-temanku membawaku ke tempat ini. Salah satu tempat tongkrongan favorite anak-anak remaja di kota kecil ini. Tempat ini berada tepat di tepi sebuah jalan, jalan yang dikhususkan untuk truk dan bus besar yang dilarang masuk dan melintasi jalanan dalam kota. Pangkal dan ujung jalan ini adalah perbatasan kota. Orang-orang menyebut jalan ini, Jalan Baru.

Sore ini, kami baru saja selesai jalan-jalan, mengitari beberapa jalanan kota dengan sepeda motor. Di kota ini, jalan-jalan sore sudah hampir menjadi sebuah tradisi yang dilakukan banyak orang setiap harinya. Setiap sore pasti banyak sekali orang-orang berhamburan di jalanan dengan macam-macam kendaraan. Terutama mereka para remaja.

Ada sebuah pemikiran yang aneh dengan tradisi jalan-jalan sore di kota ini, dan pemikiran itu hanya berkembang di kalangan remaja saja. Tingkat kegaulan atau kepopuleran seorang remaja akan dilihat melalui jalan-jalan sore. Yaitu dengan melihat: seberapa sering dia terlihat jalan-jalan sore, seberapa banyak temannya jalan-jalan sore, dan yang terakhir, kendaraan apa yang dia gunakan saat jalan-jalan sore. Itu menjadi penting sekali, disini. Maka, dapat dipastikan kalau seorang remaja setiap harinya atau setiap sorenya hanya berkutat dengan lingkungan rumah atau komplek perumahannya saja, pasti dia akan dikatakan sebagai remaja yang tidak gaul atau populer. Meskipun di sekolahnya atau di kelasnya, dan di lingkungan rumahnya, dia adalah seorang anak yang paling cantik atau ganteng.

Hanya ada beberapa rute jalan saja yang selalu dilintasi orang-orang untuk jalan-jalan sore. Salah satu jalan itu adalah jalan baru ini. Entah apa pastinya yang membuat jalan ini menjadi begitu favorite untuk dilintasi saat jalan-jalan sore. Aku hanya menebak beberapa alasan penyebabnya, yaitu karena adanya tempat-tempat yang dapat dijadikan tempat nongkrong beramai-ramai, seperti: pondok-pondok yang berjualan es kelapa muda dan ruko-ruko di tepi jalan yang dibiarkan tak berpenghuni (terlantar). Sebenarnya ruko-ruko di jalan itu dibangun tidak untuk ditelantarkan pemiliknya. Mereka sengaja membangun ruko ditempat itu untuk digunakan sebagai tempat burung Walet membuat sarang. Katanya, sepanjang jalanan baru ini memang sangat strategis untuk itu. Di depan ruko itulah biasanya akan ramai dihampiri beberapa kelompok remaja. Tak ada yang mereka lakukan. Hanya memarkirkan kendaraannya lalu mengobrol-ngobrol santai.

Satu alasan yang menurutku pasti mengapa jalan baru ini selalu menjadi rute untuk jalan-jalan sore, yaitu karena tidak ada polisi, baik yang melintas, operasi, atau pun berjaga di pos. Remaja-remaja yang belum mendapatkan Surat Izin Mengemudi pastilah senang dengan itu. Begitu juga dengan jalan-jalan yang lainnya.

Sore ini pikiranku sedang berada ditingkat paling jenuh. Aku jenuh dengan banyak hal. Terutama pada tradisi jalan-jalan sore dan pemikiran aneh kalangan remaja terhadap itu. Tapi, kupastikan lagi, lama-lama aku merasa kalau jenuhku saat ini sebenarnya muncul karena rasa gengsi.

Sudah tidak bisa kuhitung lagi, sudah berapa kali aku jalan-jalan sore dan melintasi jalan ini, kemudian mampir di salah satu pondok es kelapa yang biasa kami hampiri ini. Dan aku juga sudah tidak bisa menghitung lagi berapa kali sudah aku jalan-jalan sore dengan Roma. Rasanya aku seperti anak remaja yang tak punya banyak teman. Orang-orang hanya melihatku selalu berboncengan di sepeda motor dengannya. Sial, malah pernah ada yang menyebut kami berdua adalah sepasang homo.

Sebenarnya aku tidak selalu hanya jalan-jalan sore berdua dengannya. Seringkali ramai-ramai dengan teman-teman yang lainnya. Tapi memang, aku selalu berboncengan dengan Roma. Tidak pernah berganti. Itu karena yang punya sepeda motor adalah Roma. Aku tidak punya. Dan yang selalu bersedia memboncengku pun hanya dia. Memang itu bukan sepeda motor miliknya pribadi. Itu sepeda motor milik ayahnya. Aku merasa dia beruntung, ayahnya membolehkannya digunakan. Sedangkan ayahku, dia tidak akan membolehkanku. Aku masih kelas 3 SMP, memang belum waktunya untuk mengendarai kendaraan di jalanan.

Sebenarnya, Roma juga masih kelas 3 SMP. Dia adalah teman sekelasku. Begitu juga teman-temanku saat jalan-jalan sore yang lainnya. Semuanya masih SMP. Tapi mereka selalu diperbolehkan membawa sepeda motor milik orang tua mereka. Itu membuatku iri hati.

“Kau lebih banyak diam hari ini. Saat di sekolah tadi kau juga tak banyak bertingkah gila seperti biasanya. Ada apa, kawan?”.

Kusedot es kelapaku dan menyendok pecahan-pecahan daging kelapanya ke mulutku. “Aku bosan dengan becak”. Jawabku.

“Becak? Maksudmu, kau menganggapku tukang becak, karena aku selalu memboncengmu?”.

Aku tertawa ringan. “Bodoh. Apa aku terlihat menganggapmu seperti tukang becak?”.

“Mana kutahu. Yang kudengar kau hanya mengatakan bosan dengan becak. Dan aku adalah orang yang selalu memboncengmu. Jadi pantaslah kupikir kau menyebutku tukang becak”.

Roma menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya. Dia duduk di kursi yang berada tepat di depan mejaku. Dia melahap satu pisang goreng yang dia ambil dari piring di atas meja. Dia memesan camilan itu saat sebelum menghampiriku.

“Kau tahu aku selalu berangkat dan pulang sekolah naik becak. Aku bosan dengan itu. Aku ingin sepertimu dan teman-teman yang lain. Membawa sepeda motor sendiri”.

“Kalau tidak bisa buat apa kau paksakan”. Roma menjawab santai.

“Aku mulai malu”.

Roma tiba-tiba tertawa. “Kau harusnya malu kalau kau jalan kaki”. 


Aku mengacuhkannya. Sudah sejak berminggu-minggu yang lalu aku selalu memimpikan punya sepeda motor sendiri. Jika betul, aku pasti bisa berangkat dan pulang sekolah dengan sepeda motorku itu. Lalu jalan-jalan sore tanpa harus dijemput dan dibonceng oleh Roma lagi. Aku pasti bisa memilih sendiri teman yang ingin kubonceng. Sepeda motor adalah alasan kejenuhanku dan rasa gengsiku.

Pada hari sebelumnya, aku sudah mengungkapkan impianku itu pada ibuku. Saat itu dia sedang sibuk memasak untuk makan malam. Aku menghampirinya ke dapur. Tingkahku yang mencla-mencle terbaca olehnya. Ibuku tahu betul bila tingkahku sudah terlihat begitu pasti aku sedang ingin meminta sesuatu darinya. Dia menyuruhku berhenti berbasa-basi. Kuungkapkan sebetul-betulnya keinginanku. Namun, ah, tegas dia menolakku dengan jawabannya yang terkesan didramatisir.

Roma terbahak-bahak. Aku menceritakan tentang jawaban ibuku saat meminta dibelikan sepeda motor. “Aku setuju dengan ibumu. Kau meminta kucing bertanduk darinya”.

Aku kesal. Kuajak Roma pulang dan menyudahi jalan-jalan sore ini.



...

 

Setelah sore itu, Roma tak berhenti membuatku kesal. Semua teman-teman di sekolahku menyebut “Kucing Bertanduk” jika menyebut sepeda motor padaku. Itu sudah pasti gara-gara Roma. Dia menceritakan ke semua orang tentang jawaban ibuku saat aku meminta dibelikan sepeda motor. Sebenarnya, aku pun tak habis pikir. Ibuku memberikan jawaban dengan perumpamaan yang sangat mustahil terjadi. Meminta dibelikan sepeda motor sama artinya meminta Kucing bertanduk. Semustahil itukah permintaanku?

Selama berhari- hari sebutan kucing bertanduk terus mengiang di telingaku. Teman-temanku terkesan sangat mengejekku bila mengatakan itu. Dari pada menyiksa diriku sendiri dengan memendam amarah, maka kuanggap juga olok-olokan mereka adalah hal yang lucu. Aku akan tertawa bila mereka tertawa.
 

Pikiranku akhirnya luput dari keinginan memiliki sepeda motor. Aku tidak lagi memimpikannya. Sebutan kucing bertanduk pun mulai hilang satu persatu dari mulut teman-temanku. Kupikir memang begitulah cara terbaik menghilangkan ejekan orang lain kepada kita. Nikmati saja. Mereka akan bosan bila kita tidak marah.

Pada Minggu pagi. Aku sedang asik menonton TV. Menonton serial kartun kesukaanku. Menonton TV di Minggu pagi bukanlah keharusan yang kujalani karena tayangan-tayangannya yang menarik. Tapi kegiatan itu kulakukan karena bisa membantuku menghilangkan pikiranku tentang rasa lapar di pagi hari. Entah mengapa, ibuku selalu lama sekali memasaknya saat Minggu pagi. Jam sarapan yang seharusnya dilaksanakan jam 7 sampai jam 9 pagi, berubah menjadi jam 11 atau setengah 12 siang.

Ketika ibuku selesai memasak, aku segera makan. Tak peduli lagi dengan tayangan-tayangan menarik di TV. Aku pasti langsung meninggalkannya dan menyerbu meja makan. Banyak orang jadi brutal ketika lapar. Begitu pulalah aku.

Sedang asik menikmati makan, ayahku tiba-tiba datang entah dari mana. “Gimana? Ayolah, berangkat”. Aku menatapnya bingung.

Selesai makan, aku diminta segera mandi dan bersiap-siap pergi. Aku melakukannya walaupun aku tak tahu hendak diajak kemana. Kulihat ibuku juga bersiap-siap untuk pergi. Ketika selesai aku lalu pergi lebih dulu bersama ayahku, dengan sepeda motornya. Ibuku menyusul belakangan karena ingin mampir dulu ke suatu tempat katanya. Dia pergi naik becak.

Aku dan ayahku tiba di suatu tempat. Tempat yang membuatku spontan berkhayal. Ingin rasanya kutampar pipiku sendiri agar sadar, tapi jelas itu berlebihan nampaknya. Maka, dengan tangan khayalan kutampar sendiri pikiran bodohku.

Kami berdua sedang berada di sebuah dealer sepeda motor. “Mari kita lihat ke belakang, pak”. Seorang karyawan dealer itu mengajak ayahku agar mengikutinya. Ayahku mengajakku juga.

Mataku terpaku ke salah satu sepeda motor. Joknya masih berlapis plastik bening. Bodynya sedikit berdebu. Aku memegang-megang setang dan semua bagian lainnya. Nampaknya bapakku ingin berganti sepeda motor lagi, pikirku. Dia memang sering gonti-ganti sepeda motor.

“Udah dapat belum?”. Ibuku menepuk bahuku dari belakang. Aku kaget. Aku teringat kalau dia memang akan menyusul. Tapi, aku tiba-tiba bingung.

“Dapat apanya mak?”

“Pilih untukmu”.
 

Tidak, ini pasti mimpi. Ah, bukan, ini nyata. Aku setengah tak percaya. Dalam hati aku merasa geli sendiri. Agak lama aku menatap wajah ibuku yang sok tenang, sambil mulutku senyum kegirangan. Dia berusaha tak menatapku. Aku tahu dia pasti tak ingin ikut tersenyum. Mungkin menjaga wibawanya. 

Ini hari ulang tahun tahunku. Ternyata ibuku memilih hari yang tepat untuk mengabulkan permintaanku. Tak kusangka, hal yang kupikir benar-benar mustahil itu ternyata terjadi juga.

“Di hari ulang tahunku, mamak membuat Kucing bertanduk”. Bisikku di telinganya. Dia akhirnya tersenyum juga.

3 komentar:

  1. bahagianyaaa dapat motor, apik cerpennce, kirim ke media coba mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa mbak? hehe.
      bisa rekomendasiin ke saya mbak, media mana cocoknya. Saya gak tahu harus kirim ke media mana mbak.

      Hapus
  2. http://reretaipan88.blogspot.com/2018/07/asiataipan-taipanqq-taipanbiru-kenali-5.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    BalasHapus