Selasa, 04 April 2017

Catatan Keresahan

Sumber Gambar: openclipart.com


Apa yang akan kau lakukan jika satu-dua-tiga pertanyaan sulit muncul di pikiranmu?

Mungkin ada banyak sekali dari kita akan melakukan, Googling.

Iya. Di zaman yang serba internet sekarang ini Googling memang cara paling simple, praktis, murah, dan mudah dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pikiran kita. Hanya dengan gadget di tangan dan kuota internet yang cukup, semua pertanyaan akan dijawab tuntas oleh Google. Apalagi saat ini sudah hampir semua gadget bisa mengakses Google dengan mudah. Mau itu yang jadul sekali pun asalkan sudah bisa mengakses internet pasti bisa membuka Google.

Lagi pula masyarakat kita saat ini adalah masyarakat yang sangat mengikuti trend. Hampir semua orang punya gadget yang canggih, meskipun gadget canggihnya tergolong dalam kelas ekonomi.

Dan apalagi, sejak kuota internet hampir menjadi kebutuhan primer masyarakat kita saat ini, semuanya seakan berlomba-lomba memiliki gadget yang canggih, yang diharapkan bisa lebih memudahkan mengakses internet.

Lalu, dengan adanya kemudahan dari dukungan gadget yang kita miliki itu, sampai-sampai kita para pelaku Googling sering menganggap atau mengatakan, “Google si pintar”. Entah itu anggapan atau perkataan yang disengaja atau tidak, atau hanya sekadar candaan saja, saya pun tak tahu. Kalau menurut saya, seseorang yang beranggapan begitu pasti ia sungguh-sungguh.

Kalau begitu, pertanyaan saya adalah: benarkah Google pintar? Adakah dari kita yang (pernah) bertanya begitu?

Mungkin beberapa dari kita akan menganggap itu bukan pertanyaan penting. (*Nggak penting banget malah). Hey, tunggu dulu, akan saya beritahu. Menurut saya, jawaban dari pertanyaan itu adalah akar dari beberapa permasalahan yang cukup meresahkan kita akhir-akhir ini. Jika ingin tahu permasalahan apa saja itu, coba deh munculin pertanyaan itu di dalam kepala kita masing-masing. “Google itu beneran pintar nggak, ya?”.



Kalau sudah muncul pertanyaan itu di dalam kepalamu, artinya kau pantas lanjut membaca tulisan ini. Karena kelanjutannya adalah jawaban dari pertanyaan itu. Kalau belum, coba munculkan betul-betul. Kan nggak asyik kalau kau nggak nanya, aku sok-sok menjawab. Ditulis pula.

Google itu tidak pernah pintar. Tidak pintar, dan tidak akan pintar.
Tidak hanya Google. Beberapa temannya dia seperti Yahoo, Bing, dan yang lainnya juga. Tetap tidak pintar.

Nggak pintar, berarti bodoh dong?”.  Pasti ada yang berpikir begitu.

Google dan teman-temannya, tidak pintar, dan tidak pula bodoh. Dia dan teman-temannya itu tidak punya otak. Itu.

Akan coba saya jelaskan. Silakan lanjut membaca..

Ketika pertanyaan muncul di pikiran kita, pasti kita akan mengetik keywords (kata-kata kunci) dari pertanyaan kita, di mesin pencari. Pasti tahukan, tempat ngetik keywords itu namanya mesin pencari. Setelah itu, setelah kita menekan tombol ‘Cari’, Google akan menampilkan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan kita (sesuai keywords yang kita ketikkan). Dia akan menampilkan website/blog atau artikel. Lalu kita tinggal memilih, yang mana yang akan dirasa menjawab pertanyaan kita hingga kita merasa puas.

“Oh, begitu…!”. Pasti kita akan mengatakan itu di mulut atau di pikiran kita, apabila pertanyaan kita akhirnya mendapatkan jawaban dari Google.

Cara yang dilakukan Google itu tidak bisa saya bilang pintar. Karena sesungguhnya dia tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaan. Dia hanya menyuguhkan website/blog atau artikel yang dia anggap akan bisa menjawab pertanyaan kita.

Memang hampir selalu, semua yang disuguhkan Google adalah website/blog atau artikel yang tepat untuk menjawab pertanyaan kita. Tapi, tetap itu tidak bisa saya bilang “pintar”.

Saya mengibaratkannya seperti ini: Google adalah sebuah Mal. Di dalamnya ada banyak sekali toko yang menjual barang mau pun jasa. Ketika kita masuk, kita akan menghampiri satu persatu toko yang menjual barang atau jasa yang kita inginkan. Dan, hampir semua dari kita pasti akan menghampiri toko yang pertama kali kita lihat. Serupa Google, kita pasti mengklik website/blog atau artikel yang pertama kali kita lihat. Biasanya di halaman terdepan dan urutan teratas.

Google memang hampir bisa memenuhi semua yang kita cari. Ya, hampir.

Namun ketahuilah..
Ketika kita berpikir telah menemukan jawaban atas pertanyaan sulit kita dari Google, itu tidak sepenuhnya bisa kita anggap sebagai jawaban yang pas. Mengapa?
 
Seperti yang sudah saya singgung tadi. Google akan menampilkan website/blog atau artikel setelah kita mengetikkan keywords dan menekan tombol “Cari”. Karena Google isinya memang itu: website/blog. Baik itu website/blog yang berbayar mau pun yang gratisan. Semuanya akan dia tampilkan. Seperti pengumpamaan Mal tadi, website/blog itulah toko-tokonya. Artikel/konten adalah barang dagangan toko-toko itu (website/blog).

Kembali ke pertanyaan tadi: “Mengapa jawaban yang disuguhkan Google tidak bisa sepenuhnya kita anggap pas?”.

Barang dagangan website/blog itu (artikel/konten), tidak ada standar kualitasnya. Bahkan sulit mengetahui standar kualitasnya. Benar atau salah, baik atau buruk. Tak ada orang atau alat yang akan sungguh-sungguh mengujinya. Yang awam hanya akan menilainya dari rasa puasnya saja. Terjawab atau tidak. Jarang sekali ada yang akan berpikir jawaban (artikel/konten) itu benar atau salah.

Tapi Google memainkan sebuah cara untuk menunjukkan standar kualitas sebuah website/blog atau artikel/konten. Yaitu dengan menampilkannya di halaman pertama. Atau yang terhebat akan duduk di urutan teratas: 1, 2, 3…
Disinilah hal pentingnya, yang harus kita ketahui!

Umumnya sebuah artikel/konten akan naik peringkatnya di Google apabila:
1. Sudah lama (mungkin tahunan)
2. Banyak dikunjungi/dibuka, dan/atau
3. Mendapat respon terbanyak (share dan komentar).
Yang kedua dan ketiga bisa dianggap sebagai Popularitas.

Namun sekarang tidak lagi. Itu bisa diakali.

Beberapa pemilik atau pengelola website/blog (webmaster/blogger) sudah sangat tahu caranya agar website/blog atau artikel mereka masuk halaman terdepan, bahkan naik ke peringkat teratas. Meskipun artikel/konten atau website/blog mereka belum lama dibuat dan belum populer. Sebuah cara atau tehnik yang sekarang paling umum dilakukan para webmaster/blogger adalah SEO (Search Engine Optimization). Seperti namanya SEO akan meningkatkan visibilitas sebuah artikel/blog ke mesin pencarian, terutama Google. Para webmaster/blogger yang sudah sangat berpengalaman bahkan telah membuat tutorial mengenai SEO. Para newbie (pendatang baru) bisa dengan mudah mempelajarinya.

Atau dengan cara-cara yang paling khusus, beberapa dari para webmaster/blogger ada yang mengakalinya dengan menggunakan aplikasi-aplikasi yang juga khusus. Saya pernah menemukan salah satu artikel seorang webmaster/blogger yang cukup terkenal di dunia perbloggeran Indonesia. Di dalam artikelnya ia memberikan tutorial mengenai cara menaikkan artikel/konten hingga ke peringkat teratas di mesin pencarian Google. Dan, dalam tutorialnya ia menyarankan agar menggunakan sebuah aplikasi yang bisa download gratis.

Nah… jika sudah begitu, bukankah artinya artikel yang isinya jelek (salah, tidak baik, asal-asalan), yang tidak memuaskan atau bahkan mengandung konten-konten yang terlarang bisa dengan mudah mencapai tingkat teratas? *coba deh pikirin sebentar.

Dan bahayanya menurut saya, mayoritas dari pengguna internet, pengunjung Google, sering kali tidak ingin bersusah-susah dan berlama-lama membaca satu persatu artikel yang ditampilkan Google. Pasti banyak yang akan langsung membuka yang ada di peringkat teratas. Jarang sekali ada yang mau menscroll ke bawah atau membuka sampai ke halaman selanjutnya.



Itulah mengapa para webmaster/blogger berupaya agar website/blog mereka nangkring di urutan teratas, atau setidaknya di halaman terdepan. Karena dengan begitu, dengan sangat cepat akan menjadi populer dengan sendirinya.

Sekarang bisa dibayangin nggak, bagaimana jadinya kalau artikel yang diakali naik ke peringkat teratas itu adalah artikel yang sebenarnya salah atau tidak baik isinya untuk kita anggap sebagai jawaban yang memuaskan?

Kita harus percaya, Google tidak pernah benar-benar tahu isi dari artikel/konten yang mereka tampilkan di mesin pencariannya. Dia tidak pernah membacanya lebih dulu. Dia tidak peduli apa pun isi website/blog atau artikel yang dia tampilkan. Semuanya hanya berdasarkan pencocokan kata kunci yang kita ketikkan di mesin pencarian. Dan, satu lagi: Para webmaster/blogger juga mampu membuat artikel/konten mereka agar masuk di peringkat teratas dan halaman terdepan dengan mengakali kata kunci tertentu.

Hanya apabila ada keluhan atau laporan dari pihak-pihak tertentu saja baru Google akan memeriksa website/blog atau artikel yang dilaporkan itu. Namun, itu sangat jarang terjadi, jika bukan permasalahan yang saaaangat besar. Walaupun begitu kita tetap tak boleh membiarkannya begitu saja. Apabila satu artikel/konten kita rasa memang tak pantas tak ada salahnya kita melaporkan. Google memiliki layanan khusus pengaduan keluhan.

Satu hal penting lagi: ada cukup banyak webmaster/blogger yang membuat artikel/konten tidak sesuai basic ilmunya. Bahkan pengalamannya ke situ saja tak ada. Rata-rata dari mereka membuat artikel/konten tentang hal-hal yang mereka sukai saja. Contohnya begini:

Si webmaster/blogger berpofesi sebagai karyawan bank, tapi website/blognya memiliki tema dan isi artikel/konten tentang kesehatan. Mulai dari info, tips and trik, dan yang lainnya, yang berhubungan dengan kesehatan. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh lagi, pengalaman tentang kesehatan pun si webmaster/blogger itu nggak punya.

Atau…

Si webmaster/blogger adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pariwisata di daerah tertentu. Dia punya website/blog yang isinya info-info seputar selebritis. Seumur hidupnya dia tak pernah jadi jurnalis atau wartawan sekali pun.

Sekarang coba tebak dan bayangkan permasalahan yang sangat pasti muncul dari website/blog atau artikel dari kedua contoh di atas..!

Apakah benar kita memikirkan hal yang sama?

Pertama: Copy – Paste. Jika tak punya basic ilmu atau pengalaman yang cukup, pasti artikel mereka adalah salinan, contekan, ketik ulang dari artikel-artikel yang lebih kompeten. Atau malah dari artikel yang sama sekali tidak kompeten.

Kedua: Menyesatkan. Iya, artikel mereka akan menyesatkan pembaca. Misalnya dari contoh pertama. Kita (calon pembaca) ingin mencari tahu tips mengurangi lemak tubuh. Lalu, ketemu dengan artikelnya, yang ternyata dia tulis dari hasil copy – paste artikel yang tidak terjamin kebenarannya, dan keterujiannya. Akhirnya, setelah membaca artikel yang dia copy – paste itu kita tersugesti ingin mencoba tips di dalamnya, dan ternyata, setelah mencoba kita malah tidak mengalami pengurangan lemak sama sekali tapi justru tertimbun lemak yang semakin bejibun. Atau, benar-benar mengalami pengurangan lemak, tapi daging-daging tubuh kita juga ikut berkurang dan hilang. Badan jadi tinggal kulit dan tulang. Paslah sudah, kayak tengkorak hidup. 



Saya pernah melihat acara di telivisi yang memberitakan tentang akibat buruk yang dialami orang-orang yang salah melakukan penurunan berat badan. Dari cara diet yang salah, konsumsi obat yang salah, banyak deh yang salah. Kesalahan itu ya dikarenakan info-info yang menyesatkan itu. Diberitahu di acara itu beberapa orang bahkan sampai masuk rumah sakit dan ada pula yang mati. Miris kan?!

Atau dari contoh yang kedua. Info yang ternyata kita baca juga hasil dari copy – paste artikel yang tidak bisa dijamin kebenarannya. Kita yang membaca kemudian tersugesti percaya. Alhasil, fitnahkan jadinya? Lalu, lebih parah lagi, kita yang nggak tahu ternyata info itu salah malah berkoar-koar di luaran, membahas tentang info yang salah itu. Terus, tak sengaja seorang teman kita mendengar ocehan kita tentang info itu, dan sialnya teman kita itu merasa tahu info yang benarnya, dan menganggap yang kita ketahui adalah info yang salah. Dia lalu membantah ocehan kita. Spontan saja, karena merasa telah membaca dan sangat meyakini artikel dari website/blog yang kita pikir benar, pasti kita akan susah sekali menerima kalau sebenarnya kita salah. Beberapa dari kita pasti ada yang tetap akan bertahan dengan anggapan kita dari artikel menyesatkan itu. Nah, inilah salah satu permasalahan yang ingin saya jelaskan di pembahasan paling awal tadi. Menganggap apa pun yang dilihatnya dari Google adalah benar. Menganggap Google pintar, dan tak akan salah.

Sumber Gambar: d.christiantoday.com
 
“Tidak, saya mempertahankan pendapat/anggapan saya bukan karena menganggap Google pintar. Tapi karena website/blog yang saya buka adalah berkompeten.  Bukan website/blog yang alamatnya blogspot.com atau wordpress.com”.

Pernah dengar nggak ada orang ngomong begitu?

Saya pernah. Waktu mendengar itu, dalam hati saya hanya bilang, “Awam betul”.

Jadi begini, blogspot.com, wordpress.com, atau yang lainnya, itu disebut domain. Dan, kedua domain itu, atau yang serupa dengan kedua domain itu adalah memang domain gratisan. Berbeda dengan domain .com (dotcom), .net (dotnet), .co (dotco), atau beberapa yang serupa. Itu berbayar.

Tapi, bukan berarti domain yang gratisan dianggap tidak berkompeten, dan yang berbayar dianggap berkompeten. Hey, yang berbayar itu nggak mahal lho. Murah. Modal Rp 250.000.00 juga sudah bisa bikin. Bahkan mungkin ada yang lebih murah lagi. Untuk orang sekelas karyawan atau pegawai duit segitu sih pasti nggak masalah besar, demi sebuah anggapan untuk website/blog mereka: menarik, atau yang awam bilang, “berkompeten”.

Membuatnya pun mudah. Sudah banyak perusahaan IT yang menawarkan produk dan jasa pengubahan domain sekaligus template (design) untuk website/blog. Kita tinggal membayar dan menyerahkan sepenuhnya pengerjaannya kepada mereka. Maka, setelah itu, kita bebas mengelola website/blog kita akan bagaimana. Mau menjadikannya sumber berita sekelas CNN? Up to you..

Nah, kembali lagi, kalau kita masih menganggap domain berbayar adalah benar karena berkompeten, tidak berpikir untuk menilai latar belakang, basic ilmu, dan pengalaman pemilik atau pengelola website/blog, maka artinya tetap sama saja, kita salah. Tidak semua website/blog dengan domain berbayar itu isinya berkompeten. Jika kita mau lebih teliti sebenarnya tetap ada saja dari mereka yang juga membuat artikelnya asal-asalan. Bahkan copy – paste. Dan Google, adalah sama seperti kita yang awam, juga tidak pernah tahu dengan website/blog yang berkompeten. Dia hanya menampilkan saja, dan dia sudah diakali oleh banyak webmaster/blogger yang hebat-hebat.

Jika sudah begitu, apakah kita masih mau bilang “Google pintar”? Masih yakin mau nyari jawaban dari pertanyaan sulit kita di Google?

Saya memang tidak memungkiri, kalau saya butuh Google. Tapi hanya untuk sekadarnya saja. Maksudnya, hanya untuk menelusuri berita-berita terupdate, atau mencari tahu hal-hal kecil lainnya, seperti nama-nama benda, hewan, tempat, atau apalah yang sepele.

Tapi tidak untuk pertanyaan-pertanyaan sulit. “Seperti apa misalnya pertanyaan sulit itu?”. Mungkin ada yang bertanya begitu.

Beberapa waktu yang lalu saya pernah begitu penasaran dengan tiga hal: Persoalan tahun 1965 - Partai Komunis Indonesia (PKI), persoalan tahun 1998, dan persoalan Konflik Suriah (yang juga berpangkal dari masalah perseteruan antara golongan Islam Suni dengan golongan Islam Syiah). Ketiga hal itu memang seputar sejarah. Saya sempat mencoba mencaritahu lewat Google, membuka dan membaca satu persatu artikel yang ditampilkan, hingga membuka halaman paling jauh. Hasilnya, tidak benar-benar terjawab.

Hampir semua artikel yang disuguhkan Google adalah news (berita), dan seperti yang kita ketahui bersama (*entah kau beneran tahu apa nggak, tak mengapalah, anggap saja tahu), sekarang ini banyak media yang tidak lagi bisa menyuguhkan berita yang objektif. Semuanya sarat dengan kepentingan tertentu, dan sangat subjektif. Hampir semua artikel isinya memaksa pikiran saya agar berpihak ke golongan tertentu, dan membenci golongan yang lain. Sangat provokatif. Terutama persoalan PKI. Sangat, sangat tidak memuaskan hasrat keingintahuan saya.

Bahkan tak jarang saya merasa artikel-artikel itu berisikan info yang sulit saya percaya. Hoax, istilahnya.

Dan tak jarang juga saya menemukan beberapa artikel yang berbeda, dari website/blog yang juga berbeda tapi berisikan tulisan yang sama, dengan persentase perbedaan 0%. Maka artinya, mirip plek. Saya tidak tahu siapa dari pemilik atau pengelola website/blog yang berbeda itu yang meniru (Plagiat). Para webmaster/blogger pemalas dan cetek ilmu biasanya memang suka melirik artikel yang dia anggap menarik untuk dipublish di website/blog miliknya, apalagi memiiki tema yang sama. Padahal website/blognya sudah bisa menarik penghasilan, tapi masih saja suka copy – paste. Saya pernah melihat yang seperti itu. Paling banyak yang seperti itu adalah yang berhubungan tentang tips and trik.

Sekarang, ayolah! Kita ubah pola pikir kita. Jangan berpikir internet bisa menjawab segalanya. Google dan kawan-kawannya tidak akan pintar. Yang pintar adalah kita. Karena kitalah yang bisa berpikir, sedangkan Google dan kawan-kawannya tidak. Manfaatkan internet untuk hal yang sepantasnya saja. 

Sumber Gambar: akarsejarah.files.wordpress.com

Saya pribadi, jika ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit saya, saya akan lebih memilih lewat buku. Tidak e-book, tapi buku cetak. Saya selalu percaya, kalau buku tidak pernah dibuat asal-asalan dan tanpa riset. Terlebih untuk buku-buku yang bersifat informatif. Tidak seperti website/blog. Buku jelas-jelas sudah melewati proses editing/penyuntingan. Ada tanggung besar yang diemban penulisnya.

Dengan lebih mengutamakan mencaritahu informasi lewat buku maka artinya kita telah berkontribusi besar terhadap peningkatan kecerdasan bangsa yang sesungguhnya. Seorang dosen saya dulu pernah mengatakan, “Perbedaan negara maju dengan negara berkembang, salah satunya terletak pada persentase perbanding Sumber Daya Alam (SDA) dengan Sumber Daya Manusianya (SDM). Negara berkembang pasti selalu lebih tinggi persentase SDAnya yaitu di atas 70%, dan sisanya adalah SDMnya. Sedangkan negara maju justru sebaliknya, SDAnya tidak pernah lebih dari 30%, sisanya yang banyak adalah SDMnya”. Maka artinya, negara maju adalah negara yang miskin alamnya, tapi kaya dengan manusianya yang cerdas.

Saya tidak meragukan itu, karena memang benar. Kita lihat saja negara kita sendiri, kaya alamnya tapi manusianya, ah, entahlah. Saya masih meyakini, membaca buku adalah masih menjadi salah satu cara utama yang bisa membuat kita lebih cerdas. Rata-rata masyarakat negara maju adalah masyarakat yang suka membaca buku.

Nggak percaya?

Adakah dari kita yang tahu atau masih ingatkah kita tentang hasil survey UNESCO tahun lalu? Mengenai minat baca masyarakat kita. Saya benar-benar kaget ketika mengetahuinya. Jadi, tahun 2016 lalu UNESCO mengatakan, “minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%”. Yang artinya, dari 1000 orang masyarakat kita hanya ada 1 orang yang punya minat baca. Mencengangkan bukan?

Riset berbeda bertajuk Most Littered Nation In The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 yang lalu, negara kita dinyatakan menduduki peringkat ke 60 dari 61 negara soal minat baca. Bayangin coba, urutan terakhir ke 2. Memprihatinkan bukan? Kalau saya prihatin.

Negara kita berada persis di bawah Thailand (ke 59) dan di atas Bostwana (ke 61). Padahal, katanya, bila dinilai berdasarkan Infrastruktur untuk mendukung minat baca, negara kita berada di atas beberapa negara di benua Eropa. Negara kita berada di urutan ke 34, di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru.

Pemberitaan hasil survey itu saya kutip dari edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia

Aneh, begitulah kita. Ketika infrastruktur memadai kitanya sendiri yang malah nggak berminat untuk memanfaatkannya. Coba kalau infrastrukturnya yang nggak mendukung, pasti banyak sekali dari kita yang akan sewot mengomentari dan mengkritik sana – sini.

Sudah cukup masyarakat negara kita dianggap sebagai masyarakat yang paling cerewet di media sosial. Seperti yang pernah dipaparkan oleh website semiocast.com, yang mana negara kita adalah negara tercerewet di media sosial urutan ke-5 di dunia. Dan, masyarakat kota Jakarta adalah kota yang paling sering mengoceh di Twitter bila dibandingkan masyarakat kota dari negara lainnya. Setiap detiknya ada 15 tweet yang muncul.

Minat baca yang kurang dan tingkat kecerewetan yang tinggi seolah menjadikan kita sasaran empuk informasi-informasi yang bersifat provokatif, hoax, dan fitnah. Beberapa dari kita mungkin ada yang suka melike atau share informasi-informasi yang seringkali masih diragukan kebenarannya, tanpa mencaritahunya lebih dulu.

Percayalah kawan, dunia memperhatikan kita. Mungkin kita merasa tidak perlu malu karena kita masih berada di dalam kandang kita sendiri: Indonesia. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa pemberitaan itu sangat berdampak terhadap banyak hal. Terutama dalam kehidupan sosial kita. Orang-orang dari luar kita pasti akan merasa mudah untuk menghasut dan memecah belah kita. Mereka akan mudah memantau lalu mencaritahu hal apa yang sangat sensitif bagi kita. Jika kita orang-orang yang yakin kalau kita pintar pastilah kita tidak akan terhasut dan tak peduli dengan hasutan apa pun.

Cukup sekian dulu tulisan resah saya ini. Semoga kita bisa menarik manfaatnya. Sebelum menutup saya ingin menyampaikan sebuah kalimat yang sangat bagus yang saya dapatkan dari salah satu akun grup Facebook para pegiat literasi:  

Bacalah Buku, Pergilah ke Perpustakaan, Karena Tidak Semua yang Ada Di Dunia Maya Itu “Benar”.
 
Sharing is caring. Tapi cobalah saring lebih dulu, barulah sharing 

0 komentar:

Posting Komentar