Minggu, 24 September 2017

PASANG - SURUT CITA-CITA


“Apa sebenarnya cita-citamu saat kecil dulu? Setelah lulus dari SMP kau meneruskan sekolah kejuruan dan mengambil jurusan mesin. Setelah itu, kau melanjutkan kuliah ilmu hukum. Sekarang, setelah resmi menjadi sarjana hukum kau malah menekuni ilmu menulis dan sastra. Aku khawatir, di akhir nanti kau ternyata malah jadi seorang pilot”. Begitu kata seorang adikku di ruang heningku beberapa tahun silam.

Lalu kujawab. “Hidup ini adalah perjalanan. Jika di jalan kau hanya berjalan lurus, pasti kau akan menabrak”. 

“Huh, whatever-lah!”. Ucapnya lagi sambil sebelah tangannya menepis angin, beranjak pergi, dan mengerang-erang seperti tengah kerasukan.


Waktu kecil dulu aku hanya tahu empat macam cita-cita yang sering dicita-citakan anak kecil lainnya: Polisi, TNI, Pilot, dan Guru. Mungkin ada beberapa lagi yang lainnya. Tapi seingatku empat itu adalah yang paling banyak, dulu.

Dan, aku? Jujur saja, aku pernah menyebutkan tiga di antara keempatnya sebagai cita-citaku dulu secara bergantian, kepada orang/penanya yang berbeda-beda: Polisi, TNI, dan Pilot. Kalau kemarin ada yang menanyakan apa cita-citaku, aku ingat aku menjawab, Pilot. Terus kalau sekarang ada lagi yang menanyakannya, aku menjawab, TNI. Jika esok ada yang menanyakannya lagi, aku akan menjawab, Polisi. Begitu terus.

Bukan karena aku tak punya pendirian. Dulu aku memang sama sekali belum tahu apa cita-citaku sebenarnya. Biar terlihat punya cita-cita maka kukatakan saja ketiganya itu.

Dan sebenarnya, sejak kecil dulu aku tak pernah benar-benar memantapkan diri akan menjadi apa aku di masa kemudian nanti. Tapi, bukan berarti aku tak memiliki keinginan.

Aku sebelah kiri. Yang disebelah kanan (memakai toga) adalah adikku.

Sejak dulu, aku selalu berkhayal ingin menjadi seseorang yang dikenal, dikagumi, dan dielu-elukan banyak orang. Dan setelah duduk di bangku SMP aku baru yakin, kalau yang kucita-citakan adalah menjadi terkenal. Tapi, saat itu aku pun belum tahu, cita-cita apa yang bisa membuatku terkenal.



Aku yang di sebelah kiri (Berseragam SMP).

Sebagai anak yang lahir di awal tahun 90an, dan meremaja di era 2000an, aku masih ingat seorang pemusik, anak band, adalah profesi yang banyak dikagumi orang saat itu. Profesi yang bisa membuat terkenal. Lalu, akupun mencita-citakannya.

Mati-matian aku mempelajari alat musik. Saat itu, gitar adalah pilihanku. Aku membeli gitar, yang harganya kalau tidak salah waktu itu sekitar Rp. 280.000. Kau tahu? Uang dengan jumlah segitu di awal tahun 2000an dan untuk seorang anak yang masih duduk di kelas 2 SMP yang lahir dari keluarga sederhana adalah, BESAR SEKALI….

Aku masih ingat gimana tertatih-tatihnya (lebay banget tertatih-tatih) aku dulu harus mengumpulkan duit sebanyak itu hanya untuk membeli gitar. Meminta orang tua? Jangan harap. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan ibuku jika aku meminta uang untuk membeli gitar saat itu. 

“Beli sesuatu itu yang berguna buat sekolahmu, bukan buat hal yang tidak penting”.

Pasti akan begitu katanya. Bukannya suudzon, tapi satu pengalaman pahit yang aku dan adik laki-lakiku alami kujadikan sebagai rujukan buktinya.

Dulu, saat aku masih SD, entah kelas berapa, aku lupa, pernah punya Ukulele. Aku punya satu, dan adik laki-lakiku satu. Aku masih ingat, bapakku yang membelikan itu ketika kami sekeluarga berkunjung ke sebuah pasar malam. Bapakku terpaksa membelikannya karena adikku merengek minta dibelikan. Aku beruntung ikut dibelikan.

Lalu, berbulan-bulan kemudian, suatu siang, aku dan adikku menggelar konser besar-besaran di teras samping rumah kami. Konser besar tanpa penonton dan panggung. Yang besar hanya suara kami berdua dan suara Ukulele yang kami mainkan. Tak disangka, ketika kemeriahan konser kami berlangsung, dan sedang menampilkan satu lagu yang judulnya entah apa, aku pun lupa, seseorang menghentikannya secara paksa. Ialah ibu kami. Di situ, Ukulele kami dirampas dan dibanting ke tembok. Sampai pecah, terurai.

Aku dan adikku tak mampu berbuat apa-apa. Hanya diam terpaku, menatap Ukulele yang hanya dalam beberapa detik berubah jadi rongsokan.

Mungkin salah kami juga, mengadakan konser di siang bolong yang gerah, dan memainkan lagu yang sangat metal. Metal, semetal-metalnya. Saking metalnya kami sendiri pun tak mengingat lirik dari lagu yang kami nyanyikan itu. Yang kuingat kami berdua lebih banyak berteriak tak jelas. Ditambah lagi suara Ukulele yang kami genjreng, keras dan kacau.

Mendengar itu, tensi ibu kami mungkin mendadak tinggi. Makanya konser kami ia hancurkan semena-mena. Saat itu kami berdua kemudian hanya bisa duduk terdiam sambil sesekali saling tatap. Mata kami saling tuduh, menolak bersalah. Sampai hampir setengah jam ibu kami sudah masuk lagi ke rumah, kami tetap saja begitu. Duduk bersebelahan, sesekali saling tatap lagi, dan tetap diam.

Masih terasa lucu sebenarnya jika kubayangkan lagi.

Itulah mengapa aku yakin ibuku takkan mau memberiku uang untuk aku membeli gitar.

Tapi sungguh, kala itu aku memang tertatih-tatih mengumpulkan uang untuk membeli gitar. Aku menabung dengan menyisihkan uang jajan sekolahku. Terkadang aku bahkan memilih tak berjajan agar mempercepat penambahan jumlah tabungan. Lalu, beberapa kali, setiap kali uang untuk membeli gitar itu sudah hampir mencukupi, tiba-tiba, pasti ada saja hal yang membuatku harus memotong lagi uang itu. Menggunakannya ke hal yang lain. Seperti harus mengganti senar raket (dulu aku ikut klub olahraga badminton anak-anak), diajak jalan-jalan oleh teman-temanku saat akhir pekan (mau tak mau harus bawa uang saku yang agak banyak), dan banyak lagi.

Pernah suatu ketika, aku tergiur melakukan keburukan. Demi mempercepat penambahan uang tabungan untuk membeli gitar. Di sekolah, di sudut-sudut terlantar lingkungan sekolahku tepatnya, aku ikut bermain judi. Aku tergiur setelah seorang temanku mengajakku. Tapi, sungguh, itu adalah kekhilafan. Walaupun nyatanya itu berlangsung terus menerus hingga uang untuk membeli gitar terkumpul. Tapi sumpah, setelah itu aku tak lagi begitu (aku khawatir kau akan menganggapku dulu adalah anak yang buruk).

Setelah gitar terbeli, mati-matian belajar bergitarpun dimulai. Aku bahkan sampai membeli beberapa buku belajar bergitar.

Hingga bertahun-tahun kemudian, pada akhirnya, keinginanku menjadi pemusik ternyata cuma jadi khayalan belaka. Meskipun nyatanya kemampuanku memegang alat musik (gitar dan drum) pernah membawaku ke beberapa panggung berpenonton. Di beberapa festival band.

Saat itu, aku merasa sulit menemukan orang yang mau diajak serius menjadi rekan solidku segrup band. Itu membuatku menyerah dengan sendirinya. Menganggap cita-cita terkenal sebagai anak band adalah susah, bahkan terlalu susah.

Aku bukanlah orang yang suka membuang-buang waktu. Jika batinku sudah berkata “tak mungkin”, aku takkan memilih untuk egois meneruskannya. Meskipun ada banyak orang yang akan meyakinkanku kalau aku pasti bisa.

Aku selalu mengambil setiap kesempatan apa pun yang menurutku dapat memberiku keyakinan. Ya, aku hanya butuh keyakinanku sendiri saat ingin mencapai sesuatu. Kupikir setiap orang juga begitu. 

Omong-omong soal terkenal, jujur saja, saat SMP dulu aku sudah terkenal di sekolahku. Bukan bermaksud menyombongkan diri (seketika beraut sombong), nyatanya memang begitu. Terkenal di kalangan murid perempuan. Itu karena Bapak dan Ibuku mewariskan wajah rupawan mereka padaku. Banyak perempuan tergila-gila pada ketampananku. Haha, sombong betul...


Gimana, ganteng, kan?

Saat duduk di kelas 1 SMP dulu, seorang kakak kelasku (kelas 2), yang pastinya seorang perempuan, sekonyong-konyong pernah bilang cinta padaku (cintanya adalah cinta paling gila yang pernah kutemukan di dunia ini). Setelah mengajakku berkenalan di lapangan sekolah, ia jadi sering menghampiriku ke kelas. Aku sampai bosan melihatnya terus-terusan menghampiriku saat itu. Sampai pada suatu ketika ia tiba-tiba menghampiriku lagi, kemudian bilang gini: “jujur saja ya, sumpah, aku cinta samamu. Plis kita pacaran, ya!”. Aku hampir mendadak gila mendengarnya.

Sontak aku merasa ketakutan setelah ia bilang begitu. Ia sebenarnya bukan perempuan yang jelek, tapi, menurutku nggak cantik juga. Beberapa temanku mengatakan kalau wajahnya manis. Entahlah, aku tidak tahu dari mana teman-temanku itu bisa tahu kalau wajahnya manis. Mungkin mereka pernah menjilatinya sebelumnya, aku tak tahu juga. Yang kutahu tampak wajah perempuan hanya dua: kalau nggak cantik, ya jelek. Yang manis belum pernah kutemukan.

Langsung kukatakan pada perempuan itu wakth itu, “maaf kak, kakak sudah tua, aku masih anak-anak. Aku belum bisa pacaran”.  Ia kemudian senyum, tambah lebar, semakin lebar, lalu terbahak-bahak. Aku tahu, kata-kataku pasti membuatnya geli. Aku memang sengaja mengatakan itu, karena hanya itulah satu-satunya kalimat penolakan yang terlintas di pikiranku saat itu.

Beberapa hari kemudian, tak kusangka-sangka, setelah penolakanku itu ia malah menyambangi rumahku. Edan. Sore hari, ketika aku baru pulang dari bermain dari rumah temanku, ibuku memanggilku lalu memberikan kotak kue berukuran kecil berisi brownies cokelat. Saat memberikan itu, ibuku sambil berkata, “belum apa-apa kau sudah punya penggemar wanita ternyata di sekolah”. Sontak mukaku memerah, lalu salah tingkah. Kata ibuku, ketika perempuan itu memberikan brownies itu ia mengatakan kepada ibuku kalau ia menyukaiku.

Entah itu nekad atau konyol namanya. Bisa-bisanya ia mengatakan itu. Kayaknya dia nggak mikir gimana perasaan ibuku yang masih menganggapku bocah ingusan tiba-tiba melihatnya datang seperti hendak melamarku? Aku yakin ibuku pasti merasa geli setengah mati.

Lalu sejak hari itu ia jadi sering mendatangiku ke rumah. Tapi, aku sering mengusirnya. Iya, aku mengusirnya seperti mengusir kucing yang hendak mencuri ikan di dapur. Kalau kuingat-ingat, aku memang jahat, memperlakukannya begitu. Habis, gimana lagi? Lama-lama aku muak juga. Aku merasa hidupku nggak nyaman gara-gara dia. Dan lama-lama ia akhirnya menyerah juga.

Beberapa perempuan lain yang mengagumiku di sekolah juga sedikit banyak melakukan hal yang sama sepertinya. Bedanya: yang lainnya tak ada yang sampai menghampiriku ke rumah. Mereka yang berani menyatakan cinta padaku hanyalah kakak-kakak kelasku saja. Yang setingkat atau yang dibawah tingkatku hingga aku kelas 3 hanya berani menyeru-nyerukan namaku di belakangku, menitipkan salam lewat temanku, atau mengirimiku surat. Mereka juga sering meneriakiku dari jauh lalu bersembunyi karena malu. Yaaa... Begitulah tingkah para peggemarku dulu (sambil memasang raut wajah sok ganteng).

Ketenaranku karena tampang semata hanya terjadi saat aku SMP saja. Dan lagi pula itu bukan terkenal yang kuharapkan, meski nyatanya aku senang juga.

Saat sudah SMK

Lulus SMP aku melanjutkan sekolah ke SMK (Teknik) di luar kota. Memilih jurusan Pemesinan, bukan Otomotif. Ada dua alasanku akhirnya memilih melanjutkan sekolah ke SMK: pertama, aku khawatir jika aku memilih melanjutkan ke SMA, setelahnya aku tak berniat masuk kuliah. Jika begitu, alangkah lebih baiknya aku meneruskan ke SMK. Kalau benar nyatanya setelah lulus aku tak berkeinginan kuliah, dengan ijazah SMK kupikir akan lebih mudah mencari kerja, kala itu.

Kedua, aku ingin merasakan jauh dari orang tua. Entah kenapa, dulu, aku tidak suka diatur-atur dan diomeli orang tuaku. Mungkin dengan sekolah ke luar kota dan otomatis berjauhan dari orang tua pastilah aku akan terhindar dari ketidaksukaanku itu. Saat itu ibuku hanya akan mengijinkanku sekolah di luar kota apabila aku memilih SMK atau MAN (Mandrasah Aliyah Negeri), harus negeri. Dan aku memilih SMK.

Tapi ada satu hal yang akhirnya sangat kusesali saat sekolah di sekolah teknik: tak bertemu perempuan. Karena memang tak ada murid perempuan. Kalau pun ada, entah bagaimana perawakan dan tingkahnya. Menurut penglihatan mataku, perempuan di sekolah tehnik itu terlihat seperti lelaki yang terjebak di tubuh perempuan. Auranya laki-laki. Sedikit pun aku tak berselera melihatnya.

Sebenarnya dari awal aku sudah tahu kalau sekolah tehnik pasti tidak akan ada murid perempuannya, tapi aku saat itu yakin, nggak akan merasa apa-apa karena itu. Tapi ternyata, aku salah.

Percayakah kau, keberadaan perempuan di sekolah ternyata memberi dampak yang cukup besar. Terutama pada tingkat emosionalitas seorang guru lelaki. 

Di kelasku, jurusan mesin, semua murid adalah laki-laki. Kesalahan yang dilakukan salah seorang murid saja, yang membuat amarah seorang guru lelaki terpancing, akan sangat mudah berdampak kepada seluruh murid yang lainnya.

Seperti contoh: ketika seorang guru lelaki masuk ke kelas yang seluruhnya berisi murid laki-laki, menemukan salah seorang murid tidak ada di dalam kelas, padahal pada jam pelajaran sebelumnya masih ada, maka ketika mood-nya sedang kacau, si guru tersebut pasti akan melakukan tindakan yang tak diharapkan oleh murid-murid yang ada di dalam kelas. Yang paling sering terjadi: guru tersebut akan meninggalkan kelas itu begitu saja, sambil mengatakan “mungkin kalian memang tidak suka saya mengajar di kelas ini”.

Bayangkan, bukan kau yang berbuat salah, tapi kau kena imbasnya. 

Murid yang tak masuk pada jam mata pelajarannya kan cuma satu orang, bisa-bisanya ia menganggap murid yang lainnya tak menyukainya. Yang lebih parahnya lagi: pada hari-hari selanjutnya, guru tersebut tetap memilih tak lagi masuk ke kelas itu sampai murid yang berbuat salah atau seluruh murid lainnya meminta maaf. Parah, kan?

Itu akan berbeda jadinya kalau di kelas tersebut terdapat satu atau beberapa murid perempuan. Maksudku yang seutuhnya perempuan. Yang auranya perempuan. Baik dari tingkah dan perawakannya. Pasti guru tersebut akan berpikir-pikir ulang meninggalkan kelas itu begitu saja. Sebab, kharisma murid perempuan bisa membuat emosi seorang guru lelaki jadi lebih tenang. Kharisma perempuan selalu berhasil mengalahkan ego lelaki. Katanya sih begitu.

Amarah seorang guru lelaki juga akan lebih membabi buta jika berada di hadapan murid-murid yang seluruhnya adalah lelaki. Namun, bila di antara para murid itu terdapat perempuan, alam bawah sadarnya pasti akan mengendalikan amarahnya karena tak ingin terlihat tak elok di depan lawan jenisnya.

Itu jika pada guru. Berbeda pula dengan para murid.

Kau tahu penjara? Sekilas kau pasti tahu. Lelaki dan perempuan tidak pernah disatukan dalam penjara yang sama.

Murid-murid lelaki di sekolah teknik yang tak memiliki atau minim murid perempuannya, hampir seluruhnya akan bertingkah seperti tahanan penjara jika sedang melihat perempuan. Apalagi kalau perempuan yang dilihat itu aduhaiiii. Ah, kacau, pasti.

Kuceritakan satu pengalamanku yang paling gila. Hari itu, seorang guru bahasa Inggris mendapat giliran mengajar di kelasku. Guruku itu seorang perempuan paruh baya yang amat sangat baiknya. Ia jarang sekali marah. Di siang yang terik dan gerah, ketika ia sedang mengajar di kelasku, tiba-tiba salah seorang murid yang duduk di dekat pintu kelas berseru, “onde…. Cantiknya!”. Matanya membelalak ke arah luar kelas.

Mendengar seruan itu, sontak semua murid berdiri dari tempat duduknya masing-masing, memanjangkan leher setengah mati, mengarahkan pandangan ke luar kelas. Ke arah pandangan murid yang berseru tadi.

Yang ia serukan "onde cantiknya" itu adalah seorang murid perempuan dari salah satu SMA yang berada dekat dengan sekolahku. Perempuan itu melintas di depan kelasku. Entah apa tujuannya masuk ke sekolahku saat itu, tapi sepertinya karena sesuatu yang penting. Ia berhenti dan berdiri lama sekali di depan ruang piket guru. Kebetulan ruang piket itu jaraknya hanya beberapa meter di depan kelasku.

Melihat semua murid tak lagi memperhatikannya, dan mengetahui sebabnya, guru bahasa inggrisku itu kemudian dengan semangatnya berteriak sangat keras, “silakan, silakan, dilihat dulu. Ayo yang di belakang maju ke depan, ke dekat pintu atau jendela, lihatlah. Siapa tahu nanti kalian tak bisa melihat lagi yang seperti itu”. 

Kelas langsung berubah kacau. Sudah pasti tak satu pun murid menyia-nyiakan kesempatan yang jarang-jarang itu. Semuanya menepi ke pintu dan jendela kelas yang mengarah ke perempuan “onde cantiknya” yang ada di luar kelas. Kemudian, sibuk bersiul-siul, berteriak memanggil dan menggoda.

Kau tahu, ternyata, saat itu tak hanya murid-murid di kelas kami saja yang seperti itu. Murid-murid di beberapa kelas yang bisa melihat ke arah perempuan “onde cantiknya” itu juga melakukan kegilaan yang sama. Namun kuyakin, mereka bisa melakukan itu pasti karena guru yang seharusnya mengajar di kelas mereka pasti sedang alpa.Tidak masuk.

Aku sangat yakin, perempuan “onde cantiknya” itu, yang membuat kegiatan belajar bahasa inggris di kelasku jadi kacau itu, pasti merasa senang minta ampun, sekaligus ngeri. Senang, karena merasa bak idola. Ngeri, karena takut diterkam ramai-ramai. Jika saja makhluk-makhluk yang menggodanya saat itu betul-betul hewan buas, pasti ia sudah salah besar masuk ke lingkungan sekolahku. Namun syukurlah, semuanya yang sekolah di situ masih manusia. Manusia-manusia berprilaku buas.

Di situ, sebenarnya aku merasa sangat lucu sekaligus miris. Entah apa sebenarnya yang ada dalam pikiran guruku itu saat itu. Tapi rasanya aku yakin, ia sepertinya merendahkan sekali tingkah laku kami. Ia seolah yakin kami akan dijemput ajal setelah itu. Kami akan mati penuh penyesalan bila tak melihat perempuan yang “onde cantiknya” itu. Tapi, mungkin juga ia bermakud baik. Ia sengaja membiarkan kami merefresh sedikit mata dan otak kami, karena setiap hari tak habis-habisnya kami melihat dan bersinggungan dengan sosok laki-laki. Yang ia pikir mungkin saja akan membuat kami berubah jadi laki-laki upnormal.

Tapi, tunggu dulu…

Dalam cerita yang satu ini aku sepertinya melewatkan satu hal: aku lupa menegaskankan, kalau aku tak semiris teman-teman sekolahku itu saat itu. Ya, aku tak segila mereka bila sedang melihat perempuan yang aduhai. Hari itu, saat kericuhan di kelas terjadi karena perempuan “onde cantiknya” itu, aku memang ikut beranjak ke jendela. Tapi jujur saja, itu kulakukan bukan karena aku juga penasaran setengah mati dengan sosok perempuan itu dan terbakar semangat ingin menggodanya. Ya, walaupun aku juga memang ikut menggodanya. Itu semua kulakukan karena aku hanya ikut-ikutan saja.

Aku sebenarnya tak peduli dan ingin tetap duduk tenang di bangkuku. Tapi, karena aku tak ingin terlihat sok atau sombong, makanya aku ikut bereaksi gila.

Ketika di luar sekolah aku lebih sering berteman dengan pelajar-pelajar yang bukan satu sekolah denganku. Kebanyakan teman-temanku di luar sekolah adalah pelajar SMA. Seringkali, ketika nongkrong di suatu tempat teman-temanku itu pasti akan mengajak teman-teman mereka yang perempuan untuk ikut bergabung. Di situ mereka pasti akan memperkenalkan padaku teman-teman perempuan yang mereka ajak. Makanya, walaupun aku sekolah di sekolah tehnik yang minim murid perempuan, aku tetap punya banyak teman perempuan. Bahkan cantik-cantik.

Aku dan teman-temanku di SMK. Aku yang paling kiri.

Sepertinya ceritaku sudah melenceng ke mana-mana..

Oke, kembali lagi ke persoalan cita-cita..

Setelah lulus sekolah tehnik, ternyata aku masih punya niat untuk melanjutkan pendidikan. Namun sayang, aku tak berniat sedikit pun untuk melanjutkan ilmu yang kutekuni saat di sekolah tehnik itu ke jenjang perkuliahan. Alasannya, satu saja: aku muak hitung-hitungan. Konyol, ya? Namun, begitulah nyatanya.

Selama sekolah tehnik, pelajaran yang selalu kutemui selalu saja ada berhitungnya. Itu bikin kepalaku pusing. Aku lelah bertemu angka dan rumus-rumus.

Maka, jatuhlah pilihanku pada Ilmu Hukum saat itu. Aku berupaya keras agar diterima di Fakultas Hukum kampus negeri. Dan, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang menjadi jodohku. Akupun merantau lebih jauh lagi. Seberang pulau.

Ilmu Hukum kupilih bukan semata-mata karena bebas dari pelajaran hitung-hitungan saja, tapi, satu pengalaman yang cukup mengesankan membuatku jatuh cinta pada jurusan itu. Ini tidak perlu kuceritakan karena terlalu privacy.

Jika orang-orang bilang anak hukum perkuliahannya banyak menghafal pasal-pasal perundang-undangan, maka dia salah besar. Kuberitahu, bahkan para hakim saja tidak pernah benar-benar menghafal pasal-pasal dalam perundang-undangan. Iya, mereka tahu. Itu bukan karena mereka telah menghafalnya. Tapi, pengalaman kerja dan pendidikan merekalah yang membuat mereka tahu. Praktek pengalaman membuat siapa pun lebih mudah mengingat teori.

Setelah sibuk menjadi mahasiswa hukum, cita-citaku menjadi terkenal tiba-tiba hilang. Aku mulai berpikir logis, terkenal nampaknya hanyalah khayalan masa kecilku saja. Ditambah lagi, sejak menjalani dengan serius pendidikanku di fakultas hukum, aku merasa semakin dekat dengan tujuan hidup yang lebih nyata. Kutemukanlah cita-citaku yang baru: Jaksa.

Entah aku sudah lupa atau memang tak pernah tebersit sama sekali, aku tak tahu apa alasan yang membuatku bercita-cita menjadi seorang Jaksa. Yang kuingat saat itu, aku sangat jatuh cinta pada profesi itu.

Namun, lagi-lagi, cita-cita itu tak bertahan cukup lama di anganku. Ketika aku memasuki semester 7, sebuah kegiatan akademik yang bernama PKL (Praktek Kerja Lapangan) mengubah cita-cita baruku itu. Aku mendapat tempat PKL di sebuah lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang bantuan hukum. Di tempat itu, aku menemukan banyak teman baru, dan sekaligus pengalaman baru.

Orang-orang yang bekerja di lembaga itu banyak yang berprofesi sebagai pengacara. Mereka pengacara yang khusus membantu masyarakat dari kalangan tidak mampu. Selama PKL di situ hatiku terhenyuk ketika mendapati sebuah fakta bahwa: seorang pengacara bisa memilih akan menjadi baik atau buruk. Tapi, seorang jaksa tak mampu memilih itu. Kenapa? Karena pekerjaan jaksa adalah menuntut orang di muka pengadilan. Orang yang diduga melakukan kesalahan. Jaksa adalah perpanjangan tangan polisi. Bila polisi telah menetapkan seseorang itu jadi tersangka, lengkap dengan bukti-buktinya, maka sudah sewajibnya para jaksa meneruskan tindak lanjutnya ke pengadilan.

Coba bayangkan, jika ternyata orang yang harus dituntut di pengadilan itu sesungguhnya tidak bersalah, dan hati nuranimu pun mengiyakannya namun karena tuntutan profesimu kau harus tetap menuntutnya di pengadilan. Apakah setelah menuntutnya kau bisa tidur nyenyak setiap malam? Jujur saja, batinku pasti tersiksa selamanya. Aku bisa-bisa insomnia seumur hidup karena kepikiran itu terus-menerus. Apalagi kalau sampai hakimnya ternyata menyatakan pula orang itu bersalah atas perbuatan yang mungkin saja tidak dibuatnya, atau perbuatannya tidak sungguh-sungguh bersalah. Mati sajalah. Bisa-bisa aku salat taubat seumur hidup.

Seperti contoh: pernahkah kau mendengar atau mengetahui pemberitaan tentang seorang nenek yang disidangkan di pengadilan karena dituduh mencuri beberapa biji kakao? Nenek itu Minah namanya. Jika kau ingin tahu betul bagaimana ceritanya coba telusuri beritanya di internet. Pasti masih ada.

Nenek Minah akhirnya dijatuhi hukuman kurungan selama 1 bulan lebih beberapa hari. Syukur hakimnya masih tersentuh nuraninya, meskipun karena tuntutan profesinya ia tetap harus bertindak professional, tetap menjatuhi nenek Minah hukuman. Ia tak bisa menahan tangis saat membacakan putusannya. Kau tahu mengapa ia (hakimnya) menangis? Ia dilema. Secara materiil (kesesuaian aturan hukum) nenek Minah memang terbukti bersalah, namun secara moril (hati nurani dan kepatutan di mata masyarakat umum) perbuatan si nenek tidak bisa disalahkan.

Itulah hukum warisan dari negara penjajah kita dahulu (Belanda). Yang sebenarnya sudah tak cukup patut digunakan lagi di negeri kita tercinta ini.

Sekarang, coba bayangkan jika kau menjadi jaksa yang menuntut nenek Minah di pengadilan. Hatimu pastilah akan merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan oleh hakim. Namun, sebagai jaksa kau tidak bisa berbuat sekuasa hakim. Hakim punya hak dan wewenang untuk menambah atau mengurangi jumlah hukuman dari yang dimintakan jaksa. Sementara jaksa? Tidak pernah bisa berbuat apa-apa. Ia pasti akan menuntut semua terdakwa dihukum sesuai dengan yang ditentukan dalam undang-undang yang telah ditetapkan pihak penyidik (Polisi).

Aku adalah orang yang pengiba. Mendapati fakta itu, membuat hatiku sontak menolak mencita-citakan lagi menjadi Jaksa.

Lalu, dimulailah perjalananku mengejar cita-cita menjadi seorang Pengacara. Setelah PKL, tak disangka beberapa bulan kemudian lembaga tempatku melaksanakan PKL itu mengadakan pelatihan bantuan hukum. Mahasiswa yang ingin mendaftar minimal telah menyelesaikan sekian jumlah SKS (kalau tidak salah 122 SKS) di kampusnya. Syukur, aku mencukupi persyaratan dan bisa mendaftar.

Singkat cerita, aku pun bekerja di lembaga itu setelah selesai mengikuti pelatihan dan lulus tes pendaftaran anggota baru. Aku menjadi salah satu tenaga relawan baru di lembaga itu. Perlu kuberitahu, saat aku telah bekerja di situ, aku masih punya tanggungan di kampusku: menyelesaikan dua mata kuliah lagi, melaksanakan KKN, dan skripsi. Ya, aku masih kuliah. Kau tahu? Ternyata kuliah sambil bekerja itu benar-benar tidak mudah. Berat, sangat berat. Emosi dan pikiran terpecah belah.

Tapi, bukan aku namanya kalau menyerah. Karena yang memutuskan bekerja sebelum lulus kuliah adalah aku sendiri, maka aku harus bertanggungjawab atas keputusanku itu. Tak boleh ada yang berantakan di antara keduanya: kuliah dan kerja.

Mungkin agak terasa sedikit keras kepala. Memaksakan diri. Kuakui, aku memang orang yang keras kepala. Entah kenapa, seringkali aku merasa, orang-orang yang kerasa kepala adalah orang-orang yang punya pendirian, gigih, dan tak mudah menyerah. Meskipun orang-orang keras kepala selalu susah menerima nasihat dari orang lain. Begitu pulalah aku. Seperti ibuku yang selalu memintaku agar tak memaksakan diri dahulu untuk bekerja. Lebih baik menyelesaikan kuliah dulu, katanya. Tapi aku bersikukuh melanjutkan, kuliah sambil bekerja.

Dua tahun kemudian takdir kurang baik ternyata menghampiriku, setelah hampir aku menjadi hebat di lembaga itu. Aku didera penyakit aneh. Awalnya aku merasakan nyeri tak tertahankan di bagian sendi panggul sebelah kanan. Saking nyerinya, aku bahkan sampai sulit berdiri. Lalu, lambat laun nyerinya malah menjalar ke persendian lain, hingga seluruh persendian.

Aku masih ingat, saat itu aku sedang berdua dengan seorang perempuan cantik di rumah tinggalku (rumah kontrakan) di Semarang, ketika panggulku mulai terasa nyeri. Perempuan itu sengaja datang ke tempat tinggalku karena aku yang memintanya. Mulanya aku memintanya datang agar mengantarkanku ke terminal.  Perempuan itu pacarku, dulu. Hah, aku galau sebenarnya bila teringat dia lagi. Sumpeh dah. Bukan karena belum move on. Tapi, karena perempuan itu adalah satu-satunya perempuan yang pernah berhasil bikin hatiku patah sepatah-patahnya. Remuk, seremuk-remuknya. Lebur, selebur-leburnya. Pecah, sepecah-pecahnya. Ah, sudahlah.. malah jadi bahas itu. Fokus…

Ternyata, penyakit yang kuderita itu bukan penyakit yang sebentar. Beberapa kali dokter bahkan mengganti diagnosanya karena perkembangan penyakitku yang kalau kubilang ‘mengerikan”. Tapi, pada intinya, diagnosa dokter masih pada garis besar yang sama, yaitu peradangan di persendian. Beberapa bulan kemudian semua persendianku merasakan nyeri minta ampun. Sendi rahangku bahkan ikut merasakan. Aku sampai hampir tak bisa makan karena kesulitan membuka mulut dan mengunyah. Alhasil, badankupun kurus kering saat itu, karena kehilangan nafsu makan.           
                                       
Agar lebih mudah menceritakannya, akan kuurutkan terlebih dulu waktunya.

Januari 2014 aku mulai nyeri panggul – Mei 2014 semua persendian sudah nyeri, hingga ke rahang – Juni 2014 aku mencoba pengobatan alternatif (perdukunan) – akhir Nopember 2014 aku masuk rumah sakit untuk tindakan darurat – Desember 2014 aku operasi perbaikan tulang leher – hingga Maret 2015 aku lumpuh seluruh badan hingga ke jari-jari – sekarang, tetap masih proses pemulihan (masih sulit berjalan).

Dari Januari hingga Mei 2014 sepertinya tak perlu kuceritakan lagi. Yang terpentingnya adalah pada Juni 2014, aku ke pengobatan perdukunan. Bisa dibilang itu karena frustrasi. Tapi, bukan frustrasiku. Sudah kubilang di awal, ‘aku bukan orang yang mudah menyerah’. Frustrasi itu adalah frustrasi orang tuaku. Mereka merasa ada hal yang mungkin berhubungan dengan hal gaib di penyakitku. Makanya mereka pikir aku perlu menjalani pengobatan itu.

Aku maklum, perasaan mereka itu muncul karena beberapa permasalahan yang pernah dan yang sedang terjadi padaku. Permasalahan yang mungkin membuat orang merasa tidak senang denganku. Lalu, berbuat jahat padaku, pikir mereka.

Tapi, di pengobatan perdukunan itu, bukannya menerima kesembuhan, aku malah mengalami derita yang semakin parah. Tapi aku terlambat menyadari.

Kupikir, Tuhan pasti marah. Pengobatan perdukunan yang kujalani pasti membuatNya merasa diduakan. Padahal, kan! tiada Tuhan selain Dia. Tiada yang Maha Penyembuh selain Dia. Maafkan hamba ya Allah-ku.

Pesanku: berpikirlah kau baik-baik jika ingin melakukan pengobatan sejenis itu, kawan! Ingat, Allah-mu pasti akan kecewa padamu.

Pada akhir Nopember 2014, setelah dokter melihat hasil MRIku (mirip-mirip rontgen tapi gambar dan keterangannya lebih detail) dan menyatakan kondisiku sudah masuk kategori Gawat, akhirnya aku diminta untuk rawat inap di rumah sakit besar di Semarang, untuk tindakan darurat. Tulang leherku yang paling atas telah bergeser masuk ke bagian dalam leherku, sehingga menekan dan merusak saraf tulang belakang.

Seorang dokter spesialis saraf yang menanganiku sempat bertanya padaku, memastikan apakah aku baru mengalami kecelakaan atau tidak saat itu. Aku kemudian meyakinkannya dengan jawaban tidak. Tak berapa lama, saat aku kembali mengingat-ingat ke belakang, akhirnya diketahuilah penyebab yang membuat tulang leherku bergeser saat itu. Aku teringat saat pengobatan perdukunan, leherku dipijat sangat keras oleh dukunnya hingga mengalami nyeri keesokanharinya. Di situ, saat pemijatan itu, dokter itu menduga kuat, kalau tulang leherku bergeser. Namun, karena ketidaktahuanku, aku akhirnya membiarkan leherku terus merasakan nyeri hingga berbulan-bulan (sejak dipijat sampai diminta melakukan MRI pada akhir Nopember 2014).

Beberapa dokter yang sempat mengobatiku sebelum dokter spesialis saraf yang memintaku melakukan MRI leher itu, sebenarnya sudah kuberitahu kalau leherku juga merasakan nyeri. Tapi, mereka tak berpikir ada hal lain yang terjadi dengan leherku karena kondisiku saat itu masih belum cukup parah. Mereka mungkin berpikir, nyeri di leherku adalah bagian dari penyakitku: nyeri persendian. Makanya, aku pun berpikir begitu.

Desember 2014 leherku dioperasi. Tulang leher yang bergeser dikembalikan ke posisinya semula lalu dipasang titanium sebagai penahannya, agar tak bergeser kembali. Setelah operasi aku dirawat di ICU selama sepekan. Hingga Maret 2015 aku mengalami lumpuh total seluruh tubuh.

Perlu kuberitahu sebelumnya, aku sudah tidak bisa lagi menolak dioperasi, karena kondisiku memang gawat betul. Aku sudah mengalami mati rasa di semua permukaan kulit, tak mampu lagi berdiri, tangan kanan tak kuat bergerak (terkulai lemah), wajah selalu pucat seperti orang anemia, tak bisa menahan BAB dan BAK, dan yang terparah: aku sesak nafas setiap saat.

Seorang dokter bedah saraf yang memeriksaku sebelum operasi mengatakan, “tak butuh waktu lama, hanya hitungan hari, jika tak dilakukan operasi, kau akan jadi manusia yang tak ada gunanya. Kelumpuhan tak bisa dielakkan. Sisa hidupmu akan kau habiskan di atas pembaringan tanpa bisa berbuat apa-apa. Hanya berpikir, karena hanya otakmu yang hidup. Pikirkanlah!”.

Oh, Tuhan. Sirna mimpiku, cita-citaku, khayalan bodoh masa kecilku. Jujur, aku percaya kata-kata dokter itu. Aku tak merasa kata-katanya menakut-nakutiku. Karena nyatanya, dalam hitungan hari, aku memang mengalami perubahan drastis. Dari masih bisa berjalan, jadi tak bisa lagi berdiri, hanya jarak seminggu. 

Serangkaian derita dan resiko buruk selama perawatan di rumah sakit berhasil kulewati dengan penuh emosi. Dari resiko mengalami mati (jika operasi gagal membuat pernapasanku membaik), derita mencabut fentilator pernapasan, selang kateter, makan dan minum lewat selang yang dimasukkan ke hidung (ini yang paling nggak enak. Coba bayangkan, kau makan dan minum tapi tidak mengecap sedikit pun nikmatnya, karena makanan dan minuman yang masuk tak menyinggahi lidahmu? Oh Tuhan, ternyata lidah juga bagian dari nikmat Tuhan yang luar biasa untuk kita. Syukurilah!), gonta-ganti jarum infus, kulit yang terasa seperti terbakar (karena kebanyakan berbaring), stres, dan banyak lagi pastinya.

Setelah dipersilakan pulang dan keluar dari rumah sakit, sejak Maret 2014 hingga sekarang (2017) aku menjalani rawat jalan dan terapi (Fisioterapi dan Okupasi Terapi).

Sejak sakitku mulai parah, Maret 2014, hingga saat ini (2017), semua kegiatanku di luar rumah terpaksa harus berhenti. Aku mengundurkan diri dari lembaga tempatku bekerja. Aku sadar, proses pemulihanku akan berjalan sangat lama. Dokter-dokter yang menanganiku juga tak ada yang berani memastikan kapan aku akan kembali normal. Mereka hanya memintaku agar tetap bersabar (sabar adalah sifat yang paling sulit kutanam dalam diriku, namun keadaan memaksaku harus menanamnya) dan semangat (ini jelas-jelas diriku).

Lalu, bagaimana dengan kuliah?

Alhamdulillah, puja dan pujiku hanya pada Allah Swt. Ketika aku jatuh sakit pada Januari 2014, aku sudah tak lagi menanggung beban perkuliahan di kampus dan KKN juga sudah kutuntaskan, hanya tinggal skripsi, dan masih setengah perjalanan lagi. Berkat doa dan dukungan hebat orang tua dan kedua adikku, aku bisa melanjutkannya lagi hingga benar-benar selesai dan diwisuda pada Juli 2016 (molor dua tahun lebih beberapa bulan). Meskipun pada saat itu aku menjalani sidang skripsi dan wisuda menggunakan kursi roda.

Saat sidang skripsi

Saat wisuda

Aku juga berterima kasih pada beberapa teman, dokter-dokter, terapis, dan dekan fakultas hukum, dosen pembimbingku, dan dosen-dosen pengujiku, yang juga turut memberi dukungan dan kemudahan untukku. Tuhan pasti mengetuk nurani mereka untukku. Hingga segalanya menjadi mudah bagiku.

Lalu, bagaimana dengan cita-cita?

Hingga saat ini aku masih memimpikan diriku menjadi seorang pengacara suatu saat nanti. Aku ingin bermanfaat bagi orang banyak. Tapi, karena permasalahan kondisi yang belum pulih, dan keadaan menuntutku harus memiliki kreasi, maka kucoba menggali bakat terpendamku. Yaitu menulis. Sepertinya memang terpendam lama.  Mungkin sampai ke dasar-dasar sanubariku.

Kupikir setelah berhasil meninggalkan angka dan rumus aku akan menemukan ketenangan, tapi ternyata tidak. Ketika baru-baru menjadi mahasiswa fakultas hukum, belum apa-apa aku sudah merasa jenuh dibuat kata-kata dalam peraturan perundang-undangan. Kaku, dan membosankan. Aku tak begitu menyukai perkuliahan yang melulu membahas peraturan. Tapi jika perkuliahan itu membahas fakta-fakta hukum, sejarah hukum, dan apa pun yang bukan tentang peraturan, aku sangat menyukainya.

Hingga pada suatu hari, aku mencoba masuk toko buku (pertama kalinya seumur hidupku aku masuk toko buku), untuk membeli satu buku mata kuliah yang sangat kusuka. Tentang hukum di Indonesia. Saat memasuki toko buku, aku melewati rak buku yang berisikan buku-buku diskon. Rak buku itu paling ramai dikerumuni orang-orang yang sepertinya sangat cinta betul pada diskon. Beberapa dari orang-orang itu bahkan terlihat lapar dan beringas.

Aku kemudian penasaran, dan ingin mencari; adakah buku yang sedang ingin kubeli juga ditaruh di rak itu?

Aku pun masuk dalam kerumunan keberingasan.

Nihil. Semua buku yang didiskon rata-rata adalah fiksi (novel, kumpulan cerpen dan puisi), biography, tips and trick, resep memasak, dan buku-buku agama. Tapi, aku tiba-tiba tertarik pada sebuah buku bercover warna kuning. Mungkin bisa kubilang itu adalah buku biography. Aku tertarik ketika membaca tulisan yang ada di bagian belakang covernya. Blurbnya.

Jadi, buku itu menceritakan tentang seorang bocah kecil Afrika yang jenius. Ia melakukan sesuatu yang sempat diremehkan oleh orang-orang di desanya. Ia membuat desanya bercahaya, lewat sumber tenaga listrik yang dibangunnya dari bahan-bahan yang bisa dibilang hanya dipakai untuk keseharian warga desanya, seperti ember, tali tambang, kawat-kawat berkarat, dan banyak lagi.

Tanpa banyak pikir, aku langsung membawa buku itu ke kasir, mengamankannya dari orang-orang beringas. Di kasir, aku baru berpikir, berpikir, dan berpikir. (beli nggak ya?). Ternyata, walaupun sudah didiskon harganya tetap saja mahal, bagiku. Seiring berjalannya waktu, hingga aku benar-benar mencintai buku (terutama fiksi), akupun tahu, ternyata harga buku di Inonesia memang terbilang mahal (terlebih bagi seorang yang bukan pembaca/penikmat buku). Pantas saja, banyak orang Indonesia merasa berat hati kalau ingin membeli buku. Mending uangnya dipakai buat makan, kenyang! (kata orang-orang yang tak suka baca buku).

Buku itu akhirnya kubeli. Dengan sangat terpaksa, aku menunda dulu membeli buku mata kuliah yang awalnya ingin kubeli.

Selesai dari toko buku aku mampir di warung tegal (warteg). Mengisi perutku yang mulai rewel. Karena merasa tak sabar dan semakin penasaran dengan buku yang baru saja kubeli, aku sampai membacanya sambil makan. Beberapa orang di warung itu memperhatikanku. Mungkin di dalam kepala mereka, mereka berpikir, ‘kutu buku tingkat maniak’. Padahal, ha-ha-ha, lebay.

Biasanya, tak sampai sepuluh menit makananku pasti sudah habis, tapi saat itu, gara-gara buku itu, aku baru menyudahi makanku setelah setengah jam lebih beberapa menit (mungkin). Itu pun nasi dan lauk paukku masih nampak bersisa. Biasanya juga, piring kubuat licin dan kinclong kembali.

Sejak membaca buku itu, aku jadi suka baca buku lainnya yang sejenis. Kemudian aku juga jatuh cinta pada novel-novel yang mengangkat tema tentang sejarah, kisah-kisah nyata, dan tokoh-tokoh ternama. Kemudian jatuh cinta lagi pada cerpen, yang juga mengangkat tema-tema sejarah. Khusus untuk tema-tema romantis atau percintaan aku tak begitu tertarik. Kadang untuk tema-tema seperti itu aku lebih suka membacanya pada puisi.

Lalu, kapan mulai menulisnya?

Sebenarnya, menulis sudah kulakukan sejak menjadi mahasiswa fakultas hukum. Ketika dosen meminta mahasiswa meresume sebagai tugas kuliah, di situlah aku mulai menulis. Memang, menulis yang dimaksud adalah kegiatan literasi/kesusastraan. Tapi, dari kegiatan meresume aku belajar merangkai kalimat yang baik. Belajar mengutarakan kembali secara singkat dan jelas sebuah tulisan yang panjang. Kupikir, itu adalah bagian dari belajar menulis.

Kemudian, saat bekerja di lembaga kemanusiaan itu aku juga menulis. Setiap pekerja di lembaga itu diwajibkan membuat laporan tertulis jika baru saja melakukan tugas-tugas lapangan. Aku suka ketika membuat laporan tugas lapangan. Aku merasa diriku lebih bebas berekspresi dengan tulisan dari pada lisan. Setiap laporan selalu kubuat naratif. Tak peduli jika dalam laporan itu ada data-data berupa angka yang harusnya dipaparkan dengan tabel atau diagram. Aku lebih suka bernarasi.

Sejak September 2015 hingga kini, aku mengisi hari-hariku dengan menulis. Dari cerita hidupku hingga cerita khayalan yang singgah di kepalaku, semuanya kutulis. Aku menulis di sela-sela rutinitasku menjalani terapi. Menulis membuatku merasa punya pekerjaan. Menulis membuatku sibuk. Menulis mengalihkan kejenuhanku dari kondisiku. Dan yang terpenting, menulis membuatku merasa hidupku masih punya masa depan.

Semua buku-buku fiksi yang kupunya kini bukan cuma menjadi bahan hiburanku semata, tapi juga bahanku belajar. Belajar menganalisa, belajar memahami, dan belajar membuat cerita yang bagus. Jika benar takdirku adalah penulis, berarti, cita-cita masa kecilku, yang ingin menjadi orang terkenal, adalah cita-citaku yang mungkin sebenarnya. Sebab penulis juga punya penggemar dari setiap karyanya. Dari situ mereka terkenal.

Alhamdulillah, meskipun belum menjadi penulis terkenal, aku telah mempunyai satu karya: sebuah buku kumpulan cerpen. Yang kuterbitkan lewat penerbit indie. Aku sangat berharap, lewat karya pertamaku ini aku bisa terus konsisten menulis. Takkan goyah meskipun karyaku tak mendapatkan banyak apresiasi. Karena aku percaya, setiap buku pasti punya pembaca. Tidak semua pembaca membaca setiap buku. Meskipun begitu, aku juga tak menyerah, membiarkan bukuku tak menemukan pembaca. Kini aku juga tengah berupaya mempromosikan bukuku ini. Agar menemukan pembacanya. Aku juga berharap, dengan buku pertamaku ini, buku-buku yang akan kubuat selanjutnya akan mudah mendapat pembaca. Sebab aku takkan berhenti pada satu karya saja. Insya Allah.

Karyaku
Inilah sepintas perjalanan hidupku sampai hari ini. Aku hanya berusaha melewati jalan-jalan yang bisa jadi bukanlah tujuanku. Namun, bisa jadi pula, inilah tujuanku. Hanya saja aku tak mengetahuinya. Aku berusaha beradaptasi dengan setiap keadaan yang kudapati. Berusaha menerima ketentuan Tuhan yang sungguh-sungguh tidak pernah kuketahui.

Dalam hidup kita bisa saja dan memang harus menentukan arah dan tujuan. Tapi, bukankah kita juga harus ingat, ada Tuhan yang tetap memiliki kuasa untuk menentukan? Baik atau buruk. Tepat atau tidak, arah dan tujuan kita. Bila penolakan dan rasa tidak terima atas ketentuan Tuhan terus kita pertahankan, kupikir, kita tidak akan bergerak kemana-mana. Selayaknya jatuh dalam lubang yang dalam. Kita terjerembap. Bila begitu, maka artinya hidup kita tak pernah benar-benar mendapatkan kehidupan.

Ikhlas dan sabar. Dua kata yang seringkali terlontar sebagai nasihat itu memang sangat susah untuk dilakukan. Tapi, jika kita mengerti apa hakikat hidup kita, kupikir, dua nasihat itu pasti bisa kita tunaikan.

Terima kasih, sudah menghabiskan waktu dan emosimu untuk membaca tulisan panjangku ini. Semoga tetap memberi manfaat. Aamiin!

0 komentar:

Posting Komentar