Jumat, 23 Desember 2016

Terimakasih Untuk Semua Bantuanmu

PENTING: Siapkan dulu mentalmu untuk membacanya. Sebab akan ada beberapa kalimat yang akan membuatmu menghayalkan sesuatu..

Sumber Gambar: Liputan6.com

Kuputuskan untuk melanjutkan lagi bacaanku siang tadi. Satu buku tentang Parenting. Aku sudah masuk ke Bab selanjutnya, yang membahas tentang melatih kemandirian anak. Pada Bab itu, tak habis-habisnya aku tersenyum, dan tertawa sesekali. Bukan pembahasan pada Bab itu yang membuatku tergelitik. Tapi karena ingatanku pada beberapa kejadian saat kecil dulu. Aku membandingkan apa yang dibahas pada Bab itu dengan apa yang kualami saat aku kecil dulu. Lucu sekali.

Yang dibahas pada Bab itu adalah tentang berlatih toileting. Hahaha. Jujur saja, itu adalah kegagalan terburukku dulu.

Masih terekam jelas di ingatanku. Saat itu aku berusia sekitar 5 tahun. Pada suatu sore, di rumah hanya ada aku dan ibuku. Aku lupa adik dan ayahku sedang berada di mana sore itu. Aku sedang asyik menggambar sesuatu di buku tulisku, di kamar. Saat itu aku sudah bersekolah di salah satu Taman Kanak-kanak (TK). Aku memang sangat suka menggambar. Biasanya aku menggambar tokoh-tokoh kartun yang selalu tayang di televisi setiap hari minggu. Dulu, setiap hari minggu tayangan televisi selalu menayangkan serial anak-anak, seperti kartun dan film-film superhero. Ketika masih asyik menggambar, perutku tiba-tiba saja mulas. Hampir tak tertahankan lagi.

Dari kamar aku lalu berlari pontang-panting memasuki setiap ruangan di dalam rumahku. Sambil memegang perut dan bokongku, menahan-nahan. Aku bukan sedang tersesat, atau lupa WC ada di mana. Tapi aku harus mencari ibuku dulu. Iya. Itu adalah yang terpenting dan yang paling utama harus kulakukan sebelum enjoy di atas kloset. Tapi waktu itu kacau betul. Perutku benar-benar tidak bisa lagi diajak kompromi. Mereka yang sudah tidak sabar ingin keluar itu semakin menekan keras dan hampir mendobrak pintu keluar mereka. Maka apa boleh buat, aku lalu berteriak..

“Mak.. Oh, mak…”. Suaraku persis suara bocah yang kehilangan emaknya. (Aku memanggil ibuku, “mamak”).

“Apa? Mamak di belakang”. Ibuku menyaut dari belakang rumah, dengan berteriak juga.

“Aku mau berak!". Barulah aku masuk ke WC dan mengambil posisi di atas kloset.

“Ya, berak kau sana. Mau berak saja pakai bilang-bilang”.

Ibuku menggerutu, tapi aku tidak peduli. Sebab kenikmatan melepaskan koloni-koloni busuk itu selalu berhasil membuat masalah bukan lagi masalah untukku. Semua orang mungkin merasakan begitu juga.

Aku selalu seperti itu, dan ibuku pasti selalu kesal padaku. Habis, mau gimana lagi?! Penting sekali bagiku ibuku tahu kalau aku sedang buang air besar (BAB). Tak peduli ia sedang sibuk melakukan apa. Pokoknya ia harus tahu.


Aku belum selesai dengan proses pembuanganku. Masih terasa ada sedikit lagi yang belum berhasil keluar. Aku sedang berusaha membebaskannya. Tiba-tiba ibuku berseru dari luar pintu kamar mandi.


“Mamak mau pergi ke warung sebentar”.


“Iya”. Jawabku spontan dan cepat. Aku sedang berjuang mendorong yang susah keluar.


Akhirnya, aku berhasil. Si sisa akhirnya keluar dan terjun bebas menindih teman-temannya. Entah bagaimana bentuknya, aku tidak perduli. Aku juga tidak mau tahu bagaimana mereka berdesakan dan saling himpit di lubang itu.


Untuk selanjutnya adalah, aku harus menunggu ibuku. Hingga di usia itu, aku belum pernah bisa menyiram dan membersihkan/membasuh sendiri (*maaf) lubang duburku (cebok).  Itulah mengapa pentingnya bagiku untuk memberitahu ibuku sebelum aku BAB. Agar ibuku tahu dan bersiap-siap menungguku selesai lalu membantuku cebok. Itu adalah permasalahan terbesarku.


Yang terjadi sore itu adalah: aku tersiksa dengan permasalahanku itu. Aku telah menunggu ibuku sangat lama. Kloset di rumahku itu adalah kloset jongkok. Kakiku pegal dan kesemutan. Ditambah lagi koloni yang telah menumpuk dilubang itu telah membuat bau seisi ruangan kamar mandi menjadi busuk. Aku bahkan hampir pingsan. Difikiranku, nampaknya ibuku telah lupa aku ada dimana dan sedang apa. Aku pun menangis.


Aku tak tahu aku masuk ke kamar mandi mulai jam berapa. Tiba-tiba, aku mendengar suara benda-benda dapur di luar kamar mandi. Aku kemudian berseru.


“Mak?!”.


“Ya.. Kau masih di kamar mandi?”.


Mendengar jawaban sekaligus pertanyaan ibuku itu aku ingin marah rasanya. Bagaimana mungkin ibuku berfikir aku telah bisa cebok sendiri?. Tapi aku tahu maksudnya. Akhirnya, ibuku pun membantuku. Setelah keluar kamar mandi, kulihat jam sudah menunjukkan waktu hendak memasuki maghrib. Kurasa sore itu aku telah memecahkan rekor "Waktu jongkok terlama". Mungkin hampir dua jam aku jongkok di dalam kamar mandi.


Proses yang dilakukan ibuku ketika membantuku cebok adalah dengan memintaku pindah berjongkok dari kloset ke lantai kamar mandi. Ibuku akan mengambil posisi berdiri tepat di belakangku, lalu menyiram pantatku dari belakang sekaligus menggosok-gosokkan salah satu kakinya ke lubang duburku. Selanjutnya di gosok lagi dengan meneteskan sabun ke kakinya.


Sore itu, ibuku menasehatiku halus. “Belajarlah cebok sendiri. Suatu saat kalau pengen berak terus gak ada mamak, gimana? Mau minta dicebokin siapa?”. Aku hanya diam, tidak memikirkannya.


Suatu saat kemudian. Aku akhirnya menyadari sendiri. Seharusnya aku memikirkan kata-kata ibuku, dan seharusnya kejadian buruk yang hampir membuatku pingsan di kamar mandi itu memberi pelajaran berarti buatku.


Pagi itu aku berangkat sekolah bersama adikku. Aku dan adikku sekolah di TK yang sama, duduk di kelas yang sama, dan meja yang sama. Harusnya adikku belum sekolah saat itu, tapi karena melihatku di daftarkan sekolah dia juga meminta untuk di daftarkan. Aku dan adikku itu hanya berjarak usia 1 tahun 3 bulan.


Sebelum mandi untuk berangkat sekolah, ayahku selalu memintaku untuk buang air besar terlebih dahulu. Dia tahu aku selalu merasakan mulas saat pagi hari. Tapi pagi itu, aku tidak menurutinya.


Aku telah sampai di sekolah, dan sedang berada di dalam kelas. Di TK itu hanya ada tiga ruangan belajar, dan setiap kelas ada dua guru yang mengajar. Seorang guru sedang memulai pembelajaran di papan tulis. Dan seorang lagi sibuk melayani anak-anak di bangku belakang yang sedang melakukan berbagai tingkah. Ada yang jahil, ada yang makan perbekalannya yang dibawa dari rumah, ada yang menghayal, ada yang berpindah-pindah tempat duduk. Untungnya, tidak ada yang melakukan atraksi debus. Kalau ada, entah sekolah apa itu namanya.


Aku tiba-tiba saja membuat satu tingkah yang menambah kesusahan seorang guru yang ada di belakang. Sebenarnya itu bukan tingkah yang kusengaja.


“Bu Nining”. Aku memanggil guru itu.


“Iya, kenapa?”.


“Perut saya sakit bu”.


“Kenapa? Masuk angin?”.


“Enggak bu, mau eek”. Aku menggemaskan wajahku.


Dia tersenyum. “Ya sudah, ayo ibu hantar ke WC”.


Bu Nining cepat-cepat menghantarkanku. Dia tahu aku sudah tidak tahan. Difikiranku, harusnya aku mendengarkan apa kata ayahku tadi. Sekarang aku sedang membuat perkara baru.


Aku menikmati lagi saat-saat itu. Leganya. Tapi tidak selega di rumah. WC di TK itu kurang begitu baik. Lantai keramiknya berkarat, dindingnya kusam, dan tak ada lampu. Walau pun masih pagi tapi terasa gelap. Suasana itu mempengaruhi kenyamanan BABku. Hingga akhirnya, selesai. Semua telah keluar.


Aku menunggu lagi. Aku berharap bu Nining tidak seperti ibuku beberapa hari yang lalu. Dengan perasaan yang sangat khawatir aku berdo’a, “Semoga bu Nining mengingatku sedang eek di WC”. Lagi-lagi aku menunggu lama. Kakiku keram dan koloni pembunuh merusak lagi seluruh udara di dalam WC. “Aku harus bertahan”. Seruku dalam hati, menghibur diri.


Tiba-tiba. “Hir.. Udah selesai belum? Kok lama? Sakit perut ya?”. Bu Nining mengetuk pintu WC. Suaranya keras.


“Sudah dari tadi bu”.


“Lho, kok nggak keluar-keluar? Ibu nungguin di luar dari tadi”.


Disitu aku benar-benar bingung. Aku terdiam sejenak. Memikirkan apa yang harus kukatakan. Perasaanku benar-benar kacau saat itu. Aku mengingat lagi perkataan ibuku, dan aku menyesalinya.


“Saya nggak bisa cebok sendiri bu”. Suaraku parau, seperti orang yang ingin menangis.


Dia tertawa di luar pintu. “Kenapa gak bilang dari tadi. Terus biasanya di cebokinnya gimana?”.


“Biasanya dibasuh sama mamak pakai kaki, bu”.


“Oh, ya sudah kalau gitu keluar dulu. Disitukan sempit”.


Setelah membuka pintu WC, aku keluar dengan berjalan mengangkang, berupaya agar kotoran yang masih menempel tidak terjepit dan belepotan, dan tanganku memegangi gulungan baju seragamku di atas dada agar tak terjuntai mengenai pantat. Aku kemudian jongkok di lantai di samping WC. Di depanku terpasang beberapa kran air. Itu adalah tempat berwudhu. Aku tahu bu Nining melihat geli tingkah konyolku itu. Dia mungkin terfikir, “Anak yang tadinya dan beberapa hari ini terlihat menggemaskan, jadi nampak menggelikan”.


Bu Nining adalah orang lain satu-satunya yang pernah mencebokkanku. Setelah hari itu aku berharap tidak akan ada lagi yang melakukannya. Aku kemudian bertekad untuk belajar melakukannya sendiri.


Esok harinya, aku telah berniat akan belajar cebok sendiri. Aku menunggu waktunya tiba. Dan benar saja, aku merasakan ingin BAB saat pagi hari. Ketika selesai, aku mengingat tahap demi tahap yang dilakukan ibuku. Aku mengambil air dari bak dengan gayung, lalu menyiram lubang kloset hingga bersih. Kemudian kuambil lagi air dengan gayung untuk mulai ke tahap membersihkan/membasuh lubang dubur. Aku bingung, entah mana yang harus kudahulukan: menyiramnya dengan air lebih dulu atau memegang dengan tangan lalu menggosoknya. Hampir satu menit aku memikirkannya. Lalu kuputuskan untuk menyiramnya terlebih dulu.


Aku muntah. Rasanya percobaan pertamaku gagal. Aku sudah menyiramnya lebih dulu berkali-kali, lalu ku daratkan tangan kiriku untuk membasuhnya. Baru sekali aku menggosokkan tangan kiriku, aku malah mengangkatnya ke hadapanku. Aku mencoba memastikan apakah ada kotoronnya atau tidak. Jelas itu percobaan bodoh. Jari-jariku tertempel yang menjijikkan itu. Aku lalu berteriak, memanggil ibuku.


Di hadapan sarapanku, aku sedang mengingat-ingat kejadian di kamar mandi: gagal melakukan cebok pertama. Satu lagi permasalahanku selain dari tak bisa cebok sendiri adalah, aku tak bisa menyendok makanan dari piring dengan baik. Makanan akan terdorong hingga ke tepi piring lalu berjatuhan. Tangan kiriku selalu turut campur menaikkan makanan ke sendok. Dengan jari-jarinya dia akan membantu menghadang makanan yang terdorong hingga naik ke atas sendok. Meski aku telah mencuci tanganku berkali-kali dengan sabun karena sebelumnya gagal berlatih cebok. Tetap saja aku sudah jijik mengikutsertakannya dalam proses makanku.


Tak bisa menyendok makanan dari piring dengan baik adalah alasanku juga mengapa aku susah belajar cebok. Tangan kiri sama sucinya bagiku seperti tangan kanan.


Hingga suatu ketika, aku diajak oleh ayahku pergi ke rumah salah satu kakak perempuannya. Aku memanggilnya “Uwak”. Uwakku mengajakku makan, aku menerimanya. Dia memperhatikan caraku menyendot nasi dari piring. Dia merasa risih dengan tangan kiriku yang malah menyentuh nasiku. Dengan nada yang agak kesal, dia memintaku berhenti. Lalu menghampiriku ke kursiku. Tangannya memegang tangan kananku yang memegang sendok. Perlahan dia menggerakkan tanganku: membuat nasi di piringku tersendok.


“Begitu caranya”. Dia tersenyum setelah mengajariku. “Jangan lagi ikut tangan kirimu. Jorok. Uwak nggak suka”. Aku mengangguk menatapnya.


Aku akhirnya membiasakan diri makan tanpa mengikutsertakan tangan kiri. menganggap tangan kiri hanya untuk mengerjakan yang kotor. Dan perlahan, aku pun membiasakan juga cebok sendiri. Seiring perjalanan waktu semuanya sukses kupelajari.


Buku yang kubaca telah selesai. Aku berfikir, ternyata banyak hal yang terlambat untuk kupelajari. Sehingga menimbulkan masalah dikemudian hari. Didalam buku yang kubaca, seorang ibu harus membuat anaknya berlatih melakukan semua aktifitas pribadinya setelah memasuki usia masa aktif. Aku tak mengingat apakah ibuku melakukannya atau tidak. Yang kuingat hanya semua kejadian itu. Meskipun begitu, aku tahu ibuku berulang kali membuatku mau untuk melakukan semuanya sendiri. Walau terkadang akhirnya dia tak tega melihatku kewalahan, lalu membantuku lagi dan membuatku gagal mencobanya sendiri.


“Ibu, aku tahu kau tak ingin melihatku susah. Terimakasih”

4 komentar:

  1. Hidup memang serangkaian proses belajar yaa.. Jatuh bangun hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, sampai kapan pun harus banyak belajar. termasuk belajar menulis dengan baik hingga sampai ke tahap menjadi penulis hebat kayak mbak dewi. hehehe

      Hapus
  2. Hahaha wktu ku baca judul sama isinya ga sama dg ekspektasiku mas.. pesan ceritanya dalem tapi ceritanya lucu 😃😃

    BalasHapus